Senin, 11 Maret 2013


SOCIAL LOAFING (PEMALASAN SOSIAL)
DAN ETHICAL BEHAVIOR

Syurawasti Muhiddin
Q111 12 901


A.  Pendahuluan
Etika adalah pemikiran yang kritis dan mendasar mengenai ajaran-ajaran moral, dengan kata lain etika adalah ilmu tentang moralitas. Perwujudan dari etika dapat dilihat melalui ethical behavior. Ethical behavior dapat dikaji dalam berbagai aspek termasuk aspek pendidikan.
Ethical behavior dalam bidang akademik didefinisikan sebagai perilaku yang ditandai dengan kejujuran, keadilan, kesetaraan dalam hubungan interpersonal, dan hubungan profesional akademik dalam penelitian dan kegiatan ilmiah (Banks, Egan, Duplisea, & Mensah, 2011). Banks, dkk, (2011) juga menambahkan bahwa ethical behavior menghormati martabat, keragaman, dan hak-hak individu dan kelompok.
Pada saat bekerja secara berkelompok, terdapat orang yang memberikan kontribusi penuh., namun ada juga yang seadanya, bahkan tidak berkontribusi sama sekali tetapi hanya menumpang nama. Perilaku tersebut dalam istilah psikologi disebut sebagai social loafing (pemalasan sosial)
Karau dan Williams mendefinisikan  social loafing sebagai penurunan motivasi dan usaha ketika individu bekerja secara kolektif dalam kelompok dibandingkan dengan ketika bekerja secara individual atau independen. Social loafing ini juga menunjukkan adanya kecenderungan untuk mengerahkan usaha yang kurang ketika berada di dalam kelompok untuk mencapai tujuan bersama disbanding ketika diberi tanggung jawab secara individu (Beatty, Haas, & Sciglimpaglia, 1996).
Social loafing mampu melemahkan perilaku lain apabila dilakukan secara terus-menerus. Orang akan cenderung merasa malas dan tidak mampu mengembangkan tanggung jawabnya sebagai anggota atau bagian dari kelompok kerja. Dalam bidang akademik, social loafing dapat melemahkan empat karakteristik dari ethical behavior, yaitu kejujuran, keadilan, kesetaraan hubungan interpersonal, dan hubungan profesional.
Penelitian tentang social loafing dalam dunia akademik diantaranya dilakukan oleh Dewi Tri Rosita dan Ayu Dwi Nindyati. Kesimpulan dari penelitian dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi social loafing, maka semakin rendah ethical behavior yang ditampilkan oleh mahasiswa, begitu pula sebaliknya. Hasil analisis deskriptif  menyatakan bahwa berdasarkan aspek jenis kelamin, laki-laki memiliki nilai rata-rata social loafing lebih tinggi disbanding nilai rata-rata perempuan. Pada ethical behavior, nilai rata-rata etchical behavior laki-laki lebih rendah dari pada nilai rata-rata perempuan.

B.  Hasil Pengamatan Penulis
Penulis merupakan mahasiswa yang sering mendapatkan tugas kelompok, bahkan tugas-tugas selama kuliah didominasi oleh tugas kelompok. Penulis pun mengamati fenomena social loafing dalam kelompok penulis sendiri dan juga kelompok yang lain di kelas penulis.
Berdasarkan apa yang dilihat oleh penulis, terdapat pula social loafing dalam kerja kelompok di lingkungan penulis. Hal ini banyak ditemukan penulis dalam kelompok lain, tetapi dalam kelompok penulis sendiri social loafing terkadang masih ada. Dalam kerja kelompok hanya orang-orang tertentu yang bekerja keras, sedangkan yang lainnya bekerja seadanya, tapi pada akhirnya nilai yang diberikan sama karena merupakan nilai kelompok. Seperti yang pernah dikatakan oleh salah seorang dosen psikologi, bahwa nilai yang akan dia berikan dalam satu kelompok itu sama, dia tidak tahu bagaimana proses pengerjaan tugas itu. Apakah semua bekerja atau tidak, tetapi nilai semua anggota dalam satu kelompok akan disamakan.
Ternyata apa yang penulis amati sesuai dengan hasil penelitian di atas. Laki-laki lebih cenderung melakukan social loafing daripada perempuan. Mungkin karena perbedaan watak dan pola pikir antara laki-laki dan perempuan. Biasanya juga teman laki-laki menganggap biasa saja hal ini. Bentuk tugas kelompok yang umumnya kami peroleh harus dipresentasikan. Jadi biasanya mereka baru mengambil peran ketika ingin mempresentasikan hasil kerja kelompok itu.
Menurut pengalaman penulis dan berdasarkan apa yang dilihat secara langsung, social loafing ini tidak disadari oleh sebagian besar mahasiswa, baik oleh pelakunya maupun teman kelompoknya yang sudah bekerja keras. Mungkin karena hal ini sudah sering terjadi.
Saya ingin menjabarkan sedikit mengenai bentuk atau tatacara pengerjaan tugas kelompok yang umumnya dilakukan di lingkungan penulis. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa sebagian besar tugas kelompok yang diberikan kepada kami harus dipresentasikan. Jadi, biasanya salah seorang yang memiliki peran dominan membagi materinya untuk teman kelompok yang lain. Setiap anggota kelompok mendapatkan bagiannya masing-masing dan bertanggung jawab untuk mencari materi terkait dan membuat slide presentasi. Jika mereka tidak melakukannya, tugas kelompok tidak akan selesai. Saya pikir proses ini cukup efektif untuk mengurangi social loafing. Meskipun demikian cara ini bisa menimbulkan isu bekerja secara individual dalam kelompok. Tapi penulis melihat bahwa justru ketika bekerja secara individu, motivasi mahasiswa lebih besar. Mereka merasa bertanggung jawab dan lebih leluasa untuk berekspresi.
Adapula cara lain, yaitu salah seorang yang memiliki peran dominan mencari semua materi terkait tugasnya. Setelah itu dia memberikan materi yang sudah lengkap itu kepada anggota kelompok lain dan membagi bagian yang akan dipresentasikan oleh setiap anggota kelompok. Setiap anggota kelompok tinggal membuat slide presentasi dari materi yang menjadi bagiannya. Jika seperti ini, maka jelaslah bahwa hanya satu orang yang dominan bekerja.
Jika Penulis sendiri terlibat dalam suatu kelompok yang tugasnya dikerjakan di luar kelas, biasanya melakukan dua cara di atas, kecuali jika tugas kelompok itu dikerjakan dalam kelas, biasanya penulis tidak menjadi orang yang dominan lagi.
Penulis sudah jarang melihat pengerjaan kelompok yang dilimpahkan pada satu orang, meskipun pada awal-awal semester penulis pernah melihat dan bahkan penulis sendiri yang melakukannya. Penulis mengerjakan keseluruhan tugas kelompok, baik makalah/paper maupun slide presentasi.
Penulis melihat bahwa cara di atas, terutama cara yang kedua memberi kesempatan untuk mahasiswa yang memang cenderung melakukan social loafing. Mahasiswa HS misalnya, penulis melihat bahwa dalam setiap kelompok yang dia terlibat di dalamnya, dia selalu memberikan kontribusi yang seadanya saja. Akan lebih baik mungkin jika dia tidak mendapat bagian materi, dia hanya langsung presentasi. Namun mahasiswa HS ini apabila diberikan tanggung jawab berupa bagian materi, dia akan mengerjakannya. Jadi cara pertama lebih mengurangi social loafing daripada cara kedua.
Bagaimana dengan reaksi dan perasaan social loafer dalam kelompoknya? Berdasarkan apa yang penulis lihat. Mereka merasa tidak enak dan tidak nyaman, merasa bersalah, dan juga malu. Hal ini wajar saja. Mahasiswa secara internal masih memiliki kontrol terhadap aturan atau norma-norma yang berlaku. Di samping itu, adapula yang tampak biasa saja. Penulis berpendapat hal ini disebabkan karena mereka yang dikatakan menjadi korban social loafer juga tidak mempermasalahkan adanya anggota kelompok yang menunjukkan social loafing. Jadi pelaku social loafing itu merasa biasa saja, mungkin dia berpikir bahwa sebaiknya saya menyerahkannya kepada si Y misalnya, yang lebih pandai dan sangat rajin. Jadi dia merasa aman saja.
Bagamana dengan perasaan korban social loafer? Terdapat beragam reaksi dan perasaan. Kebanyakan penulis melihat bahwa korban social loafer bisa memaklumi. Dia tidak mempermasalahkan anggota kelompoknya yang tidak memberikan kontribusi atau hanya memberikan kontribusi seadanya. Penulis masih jarang menemukan korban social loafer yang menghilangkan nama teman kelompoknya yang menjadi pelaku social loafing. Ada juga yang nampak biasa saja atau santai. Dalam hal ini mahasiswa merasa demikian karena cenderung tidak mau repot dengan hal-hal yang dianggapnya kecil. Mahasiswa lebih mengutamakan penyelesaian tugas kelompok itu sendiri dibanding memikirkan anggota kelompoknya yang tidak memberikan kontribusi terhadap pengerjaan tugas tersebut. Meskipun mereka bersikap santai, mereka juga memikirkan perasaan dan kontribusi anggota kelompok lain yang sama-sama mengerjakan tugas dan tidak melakukan social loafing.
Penulis sangat jarang menemukan mahasiswa yang menunjukkan perasaan negatif (seperti sebal, kesal, jengkel, merasa tidak adil, capek, kecewa, merasa tidak dihargai, malas, miris dan terbebani, benci, sangat tidak menyenangkan, dan kurang suka). Mungkin ada yang merasakan hal tersebut, tetapi tidak ditunjukkan dalam bentuk perilaku yang tampak.
Penulis sendiri menganggapnya sebagai hal yang biasa dan bersikap santai. Penulis memang sering menjadi orang yang dominan dalam kerja kelompok dan mungkin tanpa penulis sadari, penulis menjadi korban social loafer. Penulis lebih berorientasi pada penyelesaian tugas itu sendiri. Daripada dilimpahkan kepada anggota yang belum tentu bisa melakukannya tepat waktu, akan lebih efesien jika penulislah yang mengerjakannya. Pada semester dua ini, penulis lebih banyak menggunakan cara pertama seperti yang dijelaskan di atas. Diharapkan semua anggota kelompok merasa bertanggung jawab menyelesaikan tugas tersebut.
Penulis juga beranggapan bahwa biasanya jika bekerja secara berkelompok, pekerjaan tersebut lambat selesai karena adanya kegiatan lain disela-sela mengerjakan tugas, seperti makan bersama, berbincang-bincang di luar topik tugas, dan sebagainya. Menurut penulis waktu yang ada tidak dimanfaatkan dengan baik. Dengan demikian penulis dan sebagian besar teman-teman lain memutuskan untuk mengerjakan sendiri sesuai dengan bagian masing-masing. Sebelum hari presentasi, semua anggota kelompok mengumpulkan bagiannya menjadi satu dan semua bisa belajar materi secara keseluruhan. Jika ada yang ingin diperbaiki, maka kita bisa memperbaikinya dengan izin teman yang menmpunyai bagian materi itu. Kita tidak bisa juga mengubahnya secara sepihak. Itu dapat berarti kita tidak menghargai usahanya dalam kelompok.
Berhubungan dengan hal itu, penulis mengira bahwa ada mahasiswa yang melakukan social loafing karena merasa tidak dihargai kinerjanya dalam kelompok. Jadi lebih baik jika dia tidak mengerjakan apa-apa dan menyerahkan semuanya kepada mereka yang memiliki kinerja dominan. Penulis sangat menghindari hal ini.

C.  Kesimpulan
Dari hasil pengamatan, penulis menyimpulkan bahwa social loafing terjadi di lingkungan kelas penulis dengan level rendah ke level sedang. Social loafing biasanya tidak disadari dalam suatu kelompok karena mungkin hal ini sudah sering terjadi. Social loafing bisa terjadi karena ada mahasiswa dalam kelompok yang memang dianggap lebih unggul, baik dari segi pengetahuan maupun kinerja. Dengan demikian social loafer merasa tidak perlu melakukan apa-apa. Hal ini menjadi kesempatan para mahasiswa yang memang cenderung melakukan social loafing, untuk melakukannya lagi. Para pelaku social loafing menggambarkan reaksi perasaan yang dirasakannya diantaranya merasa tidak enak dan tidak nyaman, merasa bersalah, dan malu. Dengan demikian, para pelaku social loafing masih memiliki kontrol internal terhadap aturan atau norma yang berlaku. Adapun mahasiswa yang menjadi korban social loafing kebanyakan bersikap biasa saja dan santai serta bisa memaklumi perbuatan tersebut. Sangat jarang yang memperlihatkan perasaan negatifnya.
Berdasarkan hasil pengamatan ini diharapkan semua mahasiswa lebih memerhatikan dan menyadari pentingnya kerjasama kelompok dengan tidak melakukan social loafing yang dapat menurunkan ethical behavior mahasiswa. Perilaku ini diharapkan dapat dikontrol dan dihindari dengan meningkatkan kerjasama dan komitmen dalam kelompok dengan pembagian tugas yang jelas dan adil.
Tulisan ini bersifat subjektif, dengan demikian bersifat tidak ilmiah. Tulisan ini hanya didasarkan pada hasil pengamatan pribadi penulis. Penulis ingin membenarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi Tri Rosita dan Ayu Dwi Nindyati. Kedepannya sangat memungkinkan untuk mengembangkan penelitian dengan topik social loafing, terutama dalam bidang akademik.

SOCIAL LOAFING (PEMALASAN SOSIAL)
DAN ETHICAL BEHAVIOR

Syurawasti Muhiddin
Q111 12 901


A.  Pendahuluan
Etika adalah pemikiran yang kritis dan mendasar mengenai ajaran-ajaran moral, dengan kata lain etika adalah ilmu tentang moralitas. Perwujudan dari etika dapat dilihat melalui ethical behavior. Ethical behavior dapat dikaji dalam berbagai aspek termasuk aspek pendidikan.
Ethical behavior dalam bidang akademik didefinisikan sebagai perilaku yang ditandai dengan kejujuran, keadilan, kesetaraan dalam hubungan interpersonal, dan hubungan profesional akademik dalam penelitian dan kegiatan ilmiah (Banks, Egan, Duplisea, & Mensah, 2011). Banks, dkk, (2011) juga menambahkan bahwa ethical behavior menghormati martabat, keragaman, dan hak-hak individu dan kelompok.
Pada saat bekerja secara berkelompok, terdapat orang yang memberikan kontribusi penuh., namun ada juga yang seadanya, bahkan tidak berkontribusi sama sekali tetapi hanya menumpang nama. Perilaku tersebut dalam istilah psikologi disebut sebagai social loafing (pemalasan sosial)
Karau dan Williams mendefinisikan  social loafing sebagai penurunan motivasi dan usaha ketika individu bekerja secara kolektif dalam kelompok dibandingkan dengan ketika bekerja secara individual atau independen. Social loafing ini juga menunjukkan adanya kecenderungan untuk mengerahkan usaha yang kurang ketika berada di dalam kelompok untuk mencapai tujuan bersama disbanding ketika diberi tanggung jawab secara individu (Beatty, Haas, & Sciglimpaglia, 1996).
Social loafing mampu melemahkan perilaku lain apabila dilakukan secara terus-menerus. Orang akan cenderung merasa malas dan tidak mampu mengembangkan tanggung jawabnya sebagai anggota atau bagian dari kelompok kerja. Dalam bidang akademik, social loafing dapat melemahkan empat karakteristik dari ethical behavior, yaitu kejujuran, keadilan, kesetaraan hubungan interpersonal, dan hubungan profesional.
Penelitian tentang social loafing dalam dunia akademik diantaranya dilakukan oleh Dewi Tri Rosita dan Ayu Dwi Nindyati. Kesimpulan dari penelitian dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi social loafing, maka semakin rendah ethical behavior yang ditampilkan oleh mahasiswa, begitu pula sebaliknya. Hasil analisis deskriptif  menyatakan bahwa berdasarkan aspek jenis kelamin, laki-laki memiliki nilai rata-rata social loafing lebih tinggi disbanding nilai rata-rata perempuan. Pada ethical behavior, nilai rata-rata etchical behavior laki-laki lebih rendah dari pada nilai rata-rata perempuan.

B.  Hasil Pengamatan Penulis
Penulis merupakan mahasiswa yang sering mendapatkan tugas kelompok, bahkan tugas-tugas selama kuliah didominasi oleh tugas kelompok. Penulis pun mengamati fenomena social loafing dalam kelompok penulis sendiri dan juga kelompok yang lain di kelas penulis.
Berdasarkan apa yang dilihat oleh penulis, terdapat pula social loafing dalam kerja kelompok di lingkungan penulis. Hal ini banyak ditemukan penulis dalam kelompok lain, tetapi dalam kelompok penulis sendiri social loafing terkadang masih ada. Dalam kerja kelompok hanya orang-orang tertentu yang bekerja keras, sedangkan yang lainnya bekerja seadanya, tapi pada akhirnya nilai yang diberikan sama karena merupakan nilai kelompok. Seperti yang pernah dikatakan oleh salah seorang dosen psikologi, bahwa nilai yang akan dia berikan dalam satu kelompok itu sama, dia tidak tahu bagaimana proses pengerjaan tugas itu. Apakah semua bekerja atau tidak, tetapi nilai semua anggota dalam satu kelompok akan disamakan.
Ternyata apa yang penulis amati sesuai dengan hasil penelitian di atas. Laki-laki lebih cenderung melakukan social loafing daripada perempuan. Mungkin karena perbedaan watak dan pola pikir antara laki-laki dan perempuan. Biasanya juga teman laki-laki menganggap biasa saja hal ini. Bentuk tugas kelompok yang umumnya kami peroleh harus dipresentasikan. Jadi biasanya mereka baru mengambil peran ketika ingin mempresentasikan hasil kerja kelompok itu.
Menurut pengalaman penulis dan berdasarkan apa yang dilihat secara langsung, social loafing ini tidak disadari oleh sebagian besar mahasiswa, baik oleh pelakunya maupun teman kelompoknya yang sudah bekerja keras. Mungkin karena hal ini sudah sering terjadi.
Saya ingin menjabarkan sedikit mengenai bentuk atau tatacara pengerjaan tugas kelompok yang umumnya dilakukan di lingkungan penulis. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa sebagian besar tugas kelompok yang diberikan kepada kami harus dipresentasikan. Jadi, biasanya salah seorang yang memiliki peran dominan membagi materinya untuk teman kelompok yang lain. Setiap anggota kelompok mendapatkan bagiannya masing-masing dan bertanggung jawab untuk mencari materi terkait dan membuat slide presentasi. Jika mereka tidak melakukannya, tugas kelompok tidak akan selesai. Saya pikir proses ini cukup efektif untuk mengurangi social loafing. Meskipun demikian cara ini bisa menimbulkan isu bekerja secara individual dalam kelompok. Tapi penulis melihat bahwa justru ketika bekerja secara individu, motivasi mahasiswa lebih besar. Mereka merasa bertanggung jawab dan lebih leluasa untuk berekspresi.
Adapula cara lain, yaitu salah seorang yang memiliki peran dominan mencari semua materi terkait tugasnya. Setelah itu dia memberikan materi yang sudah lengkap itu kepada anggota kelompok lain dan membagi bagian yang akan dipresentasikan oleh setiap anggota kelompok. Setiap anggota kelompok tinggal membuat slide presentasi dari materi yang menjadi bagiannya. Jika seperti ini, maka jelaslah bahwa hanya satu orang yang dominan bekerja.
Jika Penulis sendiri terlibat dalam suatu kelompok yang tugasnya dikerjakan di luar kelas, biasanya melakukan dua cara di atas, kecuali jika tugas kelompok itu dikerjakan dalam kelas, biasanya penulis tidak menjadi orang yang dominan lagi.
Penulis sudah jarang melihat pengerjaan kelompok yang dilimpahkan pada satu orang, meskipun pada awal-awal semester penulis pernah melihat dan bahkan penulis sendiri yang melakukannya. Penulis mengerjakan keseluruhan tugas kelompok, baik makalah/paper maupun slide presentasi.
Penulis melihat bahwa cara di atas, terutama cara yang kedua memberi kesempatan untuk mahasiswa yang memang cenderung melakukan social loafing. Mahasiswa HS misalnya, penulis melihat bahwa dalam setiap kelompok yang dia terlibat di dalamnya, dia selalu memberikan kontribusi yang seadanya saja. Akan lebih baik mungkin jika dia tidak mendapat bagian materi, dia hanya langsung presentasi. Namun mahasiswa HS ini apabila diberikan tanggung jawab berupa bagian materi, dia akan mengerjakannya. Jadi cara pertama lebih mengurangi social loafing daripada cara kedua.
Bagaimana dengan reaksi dan perasaan social loafer dalam kelompoknya? Berdasarkan apa yang penulis lihat. Mereka merasa tidak enak dan tidak nyaman, merasa bersalah, dan juga malu. Hal ini wajar saja. Mahasiswa secara internal masih memiliki kontrol terhadap aturan atau norma-norma yang berlaku. Di samping itu, adapula yang tampak biasa saja. Penulis berpendapat hal ini disebabkan karena mereka yang dikatakan menjadi korban social loafer juga tidak mempermasalahkan adanya anggota kelompok yang menunjukkan social loafing. Jadi pelaku social loafing itu merasa biasa saja, mungkin dia berpikir bahwa sebaiknya saya menyerahkannya kepada si Y misalnya, yang lebih pandai dan sangat rajin. Jadi dia merasa aman saja.
Bagamana dengan perasaan korban social loafer? Terdapat beragam reaksi dan perasaan. Kebanyakan penulis melihat bahwa korban social loafer bisa memaklumi. Dia tidak mempermasalahkan anggota kelompoknya yang tidak memberikan kontribusi atau hanya memberikan kontribusi seadanya. Penulis masih jarang menemukan korban social loafer yang menghilangkan nama teman kelompoknya yang menjadi pelaku social loafing. Ada juga yang nampak biasa saja atau santai. Dalam hal ini mahasiswa merasa demikian karena cenderung tidak mau repot dengan hal-hal yang dianggapnya kecil. Mahasiswa lebih mengutamakan penyelesaian tugas kelompok itu sendiri dibanding memikirkan anggota kelompoknya yang tidak memberikan kontribusi terhadap pengerjaan tugas tersebut. Meskipun mereka bersikap santai, mereka juga memikirkan perasaan dan kontribusi anggota kelompok lain yang sama-sama mengerjakan tugas dan tidak melakukan social loafing.
Penulis sangat jarang menemukan mahasiswa yang menunjukkan perasaan negatif (seperti sebal, kesal, jengkel, merasa tidak adil, capek, kecewa, merasa tidak dihargai, malas, miris dan terbebani, benci, sangat tidak menyenangkan, dan kurang suka). Mungkin ada yang merasakan hal tersebut, tetapi tidak ditunjukkan dalam bentuk perilaku yang tampak.
Penulis sendiri menganggapnya sebagai hal yang biasa dan bersikap santai. Penulis memang sering menjadi orang yang dominan dalam kerja kelompok dan mungkin tanpa penulis sadari, penulis menjadi korban social loafer. Penulis lebih berorientasi pada penyelesaian tugas itu sendiri. Daripada dilimpahkan kepada anggota yang belum tentu bisa melakukannya tepat waktu, akan lebih efesien jika penulislah yang mengerjakannya. Pada semester dua ini, penulis lebih banyak menggunakan cara pertama seperti yang dijelaskan di atas. Diharapkan semua anggota kelompok merasa bertanggung jawab menyelesaikan tugas tersebut.
Penulis juga beranggapan bahwa biasanya jika bekerja secara berkelompok, pekerjaan tersebut lambat selesai karena adanya kegiatan lain disela-sela mengerjakan tugas, seperti makan bersama, berbincang-bincang di luar topik tugas, dan sebagainya. Menurut penulis waktu yang ada tidak dimanfaatkan dengan baik. Dengan demikian penulis dan sebagian besar teman-teman lain memutuskan untuk mengerjakan sendiri sesuai dengan bagian masing-masing. Sebelum hari presentasi, semua anggota kelompok mengumpulkan bagiannya menjadi satu dan semua bisa belajar materi secara keseluruhan. Jika ada yang ingin diperbaiki, maka kita bisa memperbaikinya dengan izin teman yang menmpunyai bagian materi itu. Kita tidak bisa juga mengubahnya secara sepihak. Itu dapat berarti kita tidak menghargai usahanya dalam kelompok.
Berhubungan dengan hal itu, penulis mengira bahwa ada mahasiswa yang melakukan social loafing karena merasa tidak dihargai kinerjanya dalam kelompok. Jadi lebih baik jika dia tidak mengerjakan apa-apa dan menyerahkan semuanya kepada mereka yang memiliki kinerja dominan. Penulis sangat menghindari hal ini.

C.  Kesimpulan
Dari hasil pengamatan, penulis menyimpulkan bahwa social loafing terjadi di lingkungan kelas penulis dengan level rendah ke level sedang. Social loafing biasanya tidak disadari dalam suatu kelompok karena mungkin hal ini sudah sering terjadi. Social loafing bisa terjadi karena ada mahasiswa dalam kelompok yang memang dianggap lebih unggul, baik dari segi pengetahuan maupun kinerja. Dengan demikian social loafer merasa tidak perlu melakukan apa-apa. Hal ini menjadi kesempatan para mahasiswa yang memang cenderung melakukan social loafing, untuk melakukannya lagi. Para pelaku social loafing menggambarkan reaksi perasaan yang dirasakannya diantaranya merasa tidak enak dan tidak nyaman, merasa bersalah, dan malu. Dengan demikian, para pelaku social loafing masih memiliki kontrol internal terhadap aturan atau norma yang berlaku. Adapun mahasiswa yang menjadi korban social loafing kebanyakan bersikap biasa saja dan santai serta bisa memaklumi perbuatan tersebut. Sangat jarang yang memperlihatkan perasaan negatifnya.
Berdasarkan hasil pengamatan ini diharapkan semua mahasiswa lebih memerhatikan dan menyadari pentingnya kerjasama kelompok dengan tidak melakukan social loafing yang dapat menurunkan ethical behavior mahasiswa. Perilaku ini diharapkan dapat dikontrol dan dihindari dengan meningkatkan kerjasama dan komitmen dalam kelompok dengan pembagian tugas yang jelas dan adil.
Tulisan ini bersifat subjektif, dengan demikian bersifat tidak ilmiah. Tulisan ini hanya didasarkan pada hasil pengamatan pribadi penulis. Penulis ingin membenarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi Tri Rosita dan Ayu Dwi Nindyati. Kedepannya sangat memungkinkan untuk mengembangkan penelitian dengan topik social loafing, terutama dalam bidang akademik.

Kamis, 03 Januari 2013

PEMBELAJAR MANDIRI
Syurawasti Muhiddin


Kata belajar sudah kita kenal sejak kita mengenyam pendidikan di Taman Kanak-Kanak hingga sekarang ini. Tentu saja kata belajar tersebut dimaknai berbeda oleh setiap manusia berdasarkan level pengetahuannya. Anak-anak misalnya, mereka mengartikan belajar sebagai suatu kegiatan membaca buku atau mencatat materi dari buku. Padahal belajar tidak se-simple itu. Belajar merupakan proses kita menafsirkan berbagai hal di dunia. Mengutip pendapat Dr. Arlina Gunarya, M.Sc, dasar hakikinya belajar adalah upaya mengenali dan mencari tahu, yang merupakan prasarat untuk upaya menjadi orang yang sesuai dengan fitrah. Belajar berlangsung terus- menerus sejak kita lahir di dunia ini, sadar maupun tidak sadar karena belajar merupakan panggilan hidup. Tanpa belajar kita tidak dapat melakukan “proses menjadi”.
Ada tiga jenis belajar, yaitu belajar tentang, belajar, dan belajar menjadi. Belajar tentang bertujuan untuk mengetahui sesuatu sehingga kita memiliki wawasan. Ketika kita mempraktikkan hasil belajar tentang untuk memperoleh skill, maka saat itu disebut “belajar”. Sementara “belajar menjadi” mensaratkan perenungan diri. Menurut Andrias Harefa1, “pengajaran” membawa orang belajar tentang, sedangkan “pelatihan” memandu orang belajar, sementara “pembelajaran” memungkinkan orang belajar menjadi. Dengan demikian ada perbedaan makna antara kata pelajar dengan pembelajar. Menurut saya, pelajar yang diidentikkan dengan siswa, terutama pada tingkat sekolah dasar dan menengah, lebih mengarah pada proses belajar tanpa adanya proses perenungan (belajar tentang). Sedangkan seorang pembelajar, yang dalam hal ini diidentikkan dengan mahasiswa tidak hanya sekedar belajar tentang tetapi juga dapat menafsirkan apa yang diperoleh berdasarkan persepsi dan pengalaman.
Lalu apakah pembelajar mandiri itu? Menurut saya secara sederhana, pembelajar adalah setiap orang yang melakukan proses belajar tentang dan proses belajar dalam rangka “belajar menjadi” apa yang menjadi kehendaknya. Adapun kata mandiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung pada orang lain. Dengan demikian, pembelajar mandiri adalah setiap orang yang melakukan proses “belajar menjadi” atas inisiatif sendiri dengan tidak bergantung pada orang lain. Pembelajar mandiri sadar akan pentingnya belajar untuk menjadi orang yang sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.
Siapakah pembelajar mandiri itu? Pembelajar mandiri bukan hanya mereka yang berstatus sebagai siswa dan mahasiswa. Setiap orang dapat menjadi pembelajar mandiri. Apalagi belajar adalah panggilan hidup. Hanya saja istilah pembelajar mandiri ditekankan kepada mahasiswa, agar mereka dapat menjadi manusia yang memiliki kompetensi dan karakter apabila mereka terjun ke masyarakat nantinya.
Kapan dan dimana pembelajar mandiri melakukan proses “belajar mandirinya” ? Kapan dan dimana saja seseorang bisa menjadi pembelajar mandiri, selama seseorang telah mununjukkan karakter seorang pembelajar mandiri. Proses belajar tidak harus dilakukan di lingkungan institusi pendidikan seperti sekolah dan kampus. Seseorang bisa belajar di lingkungan rumah, keluarga, dan masyarakat. Manusia memang memulai proses belajar di lingkungan keluarga, kemudian belajar dalam sistem seperti sekolah dan lingkungan. Di lingkungan orang banyak, seseorang bisa mendapatkan banyak pembelajaran.
Mengapa pembelajar-pembelajar mandiri sangat dibutuhkan dalam kehidupan ini ? Jawabannya tentu sudah jelas. Pembelajar mandiri akan menjadi manusia-manusia yang unggul dan berkarakter sehingga mereka dapat menebarluaskan  manfaat keberadaannya kepada orang banyak. Apabila karakter kemandirian telah tertanam kuat dalam dirinya, kelak ia bisa membina generasi-generasi berikutnya menjadi pembelajar-pembelajar mandiri sehingga dimasa yang akan datang bangsa ini menjadi bangsa yang tidak bergantung pada bangsa lain.
Lantas bagaimanakah ciri-ciri pembelajar mandiri itu? Tentu saja seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa pembelajar mandiri tidak bergantung pada orang lain dan memiliki inisiatif. Contohnya pada mahasiswa. Dia mengerjakan tugas kuliah sendiri, tidak menyontek kepada teman dan tidak ingin menyulitkan teman. Dia memiliki inisiatif untuk mengkaji sendiri sesuai kemampuannya. Dia memiliki komitmen untuk belajar. Hal ini misalnya ditunjukkan melalui ketekunan dalam  mengikuti kuliah, disiplin membaca, disiplin melakukan diskusi. Tidak hanya terbatas pada apa yang diberikan dosen, tetapi juga berusaha untuk mengkaji ilmu lebih banyak lagi melalui berbagai media. Pembelajar mandiri memiliki keberanian untuk menjalani kehidupannya, senantiasa berpikir positif, serta tidak mudah menyerah apalagi berputus asa. Selain itu, pembelajar mandiri senantiasa mengembangkan kreativitas sesuai dengan potensi yang dimiliki. Kreativitas itu akan berguna bagi kelangsungan hidupnya dan bahkan orang lain di masa depan.
Demikian pemaparan saya tentang pembelajar mandiri. Pembelajar mandiri selalu berusaha memperoleh banyak pembelajaran hidup dalam rangka “menjadi orang” yang dituju sesuai apa yang digariskan oleh Sang Pencipta.



Senin, 24 Desember 2012

Teori-Teori Perkembangan


“MELIHAT KE DALAM DIRI” DENGAN PENDEKATAN

TEORI-TEORI PERKEMBANGAN

 

Syurawasti Muhiddin (Q11112901)

 

A.     Pendahuluan

Psikologi perkembangan, studi tentang perubahan yang terjadi pada pikiran dan tingkah laku manusia dari masa bayi hingga usia tua. Psikologi perkembangan adalah studi tentang bagaimana manusai berubah setiap waktu, juga menginvestigasi bagaimana dan mengapa karakteristik tertentu tetap konsisten sepanjang hidup manusia.

Perubahan yang dimaksud meliputi proses biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Proses biologis mencakup perubahan-perubahan dalam hakikat fisik individu seperti gen yang diwarisakan orang tua, perkembangan otak, pertambahan tinggi, dsb. Proses kognitif meliputi perubahan dalam pikiran, intelegensi, dan bahasa individu. Proses sosial-emosional meliputi perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain, dalam emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran dari konteks sosial dalam perkembangan.

Studi tentang perkembangan manusia membutuhkan pendekatan yang luas dan integratif. Dengan demikian psikologi perkembangan menyertakan gagasan-gagasan dari hampir setiap area yang lainnya dalam psikologi, seperti psikologi sosial, psikologi kognitif, biopsikologi, psikologi klinis, dan psikologi pendidikan. Selain itu juga mengmbil dari banyak lapangan ilmu lain yang berhubungan dengan tingkah laku manusia, seperti sosiologi, biologi (khususnya biologi genetika dan evolusi), antropologi, dan ekonomi. Macam-macam lapangan relevan yang dengan psikologi perkembangan merefleksikan kompleksitas perkembangan dan perubahan manusia.

Implikasi dari banyaknya gagasan-gagasan yang dimasukkan dalam psikologi perkembangan tentu saja adalah banyaknya teori-teori tentang perkembangan. Sebelum memaparkan teori-teori tersebut, terlebih dahulu akan dijelaskan masa perkembangan yang bersifat umum. Perkembangan biasanya digambarkan dalam periode-periode tertentu. Klasifikasi masa perkembangan yang paling umum dipakai dijelaskan sebagai berikut dan perkiraan rentang usia untuk tiap masa perkembangan diberikan untuk memberikan gambaran umum bilamana suatu masa perkembangan mulai terjadi dan bilamana berakhirnya.

1.    Masa prenatal/sebelum kelahiran (prenatal period) adalah masa dari konsepsi sampai lahir. Merupakan waktu pertumbuhan yang cepat sekali-dari satu sel menjadi organisme lengkap dengan otak dan kemampuan bertingkah laku-dalam waktu kurang lebih 9 bulan.

2.    Masa bayi (Infancy) adalah masa perkembangan yang berlangsung dari lahir sampai usia 18 atau 24 bulan. Masa bayi adalah waktu di mana individu sangat bergantung pada orang dewasa. Kegiatan psikologis baru dimulai.

3.    Masa anak awal (early childhood) adalah masa perkembangan yang dimulai dari akhir masa bayi sampai kira-kira usia 5 atau 6 tahun; kadang-kadang masa perkembangan ini disebut masa prasekolah. Pada masa ini anak kecil belajar untuk lebih mandiri dan bisa merawat dirinya, mengembangkan kesiapan sekolah, dan melewatkan banyak waktunya untuk bermain bersama teman.

4.    Masa remaja (adolescence) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Semakin banyak ahli perkembangan yang menggambarka remaja sebagai masa remaja awal dan remaja akhir. Remaja awal (early adolescence) kira-kira sama dengan masa sekolah menengah pertama dan mencakup kebanyakan perubahan pubertas. Masa Remaja Akhir (Late Adolescence) menunjuk pada kira-kira setelah usia 15 tahun. Minat pada karir, pacaran, dan eksplorasi identitas seringkali lebih nyata dalam masa remaja akhir ketimbang dalam masa remaja awal.

5.    Masa dewasa awal (Early Adulthood) biasanya dimulai pada akhir usia belasan atau permulaan usia 20-an dan berlangsung sampai usia 30-an. Masa ini merupakan waktu untuk membentuk kemandirian pribadi dan ekonomi. Perkembangan karir menjadi lebih penting ketimbang pada waktu remaja.

6.    Masa dewasa tengah (Middle Adulthood) adalah masa perkembangan yang dimulai kira-kira antara usia 35 dan 45 tahun dan berakhir pada usia antara 55 dan 65 tahun. Masa ini merupakan waktu meningkatnya minat untuk  mewariskan nilai-nilai pada generasi berikutnya, bertambah kepedulian tentang badan sendiri, dan meningkatnya refleksi tentang arti hidup.

7.    Masa dewasa akhir (Late Adulthood), yaitu masa perkembangan yang  berlangsung dari kira-kira usia 60-70 tahun sampai kematian. Masa ini merupakan masa penyesuaian terhadap menurunnya kekuatan dan kesehatan, serta usia pensiun dan kurang produktif.

 

B.     Teori-Teori Perkembangan

Tidak semua teori-teori perkembangan dipaparkan di sini, hanya beberapa saja yang dianggap berpengaruh besar bagi penulis dan juga studi tentang perkembangan manusia.

1.             Teori-Teori Biologis

Teori ini menekankan faktor Nature sebagai penentu perkembangan manusia: maturitas, dasar-dasar biologis perilaku-proses mental. Dipengaruhi pemikiran Charles Darwin-perspektif evolusioner.

a.       Teori Maturasional

-          Tokoh: Arnold Gessel

-          Asumsi:

1)      perkembangan diarahkan dari dalam-maturasi biologis: berjalan, berbicara, kontrol diri

2)      Self Regulation: organisme memiliki kesiapan utk memasuki tahap perkembangan tertentu—memberi sinyal kepada lingkungannya.

b.      Teori Etologis

-          Tokoh: Konrad Lorenz, Niko Tinbergen, John Bowlby

-          Asumsi:

1)      perkembangan manusia sebagai bagian dari historis evolusioner; cara-cara yang memungkinkan manusia survive

2)      releasing stimuli: menangis, senyuman

3)      sumbangan: metode observasi dalam setting alamiah

2.             Teori psikoseksial/psikoanalisa

-            Tokoh : Sigmund Freud

-            Asumsi

a.       Para ahli teori psikoanalisasi, perkembangan terutama tidak disadari-artinya, di luar kesadaran dan sangat diwarnai oleh emosi. Mereka percaya bahwa tingkah laku hanyalah ciri permukaan, dan untuk betul-betul memahami perkembangan kita harus menganalisis arti simbolik tingkah laku dan kerja pikiran yang terdalam. Ahli teori psikoanalisis juga menegaskan bahwa pengalaman pada masa dini dengan orang tua akan sangat membentuk perkembangan kita.

b.      perilaku dan proses mental manusia dimotivasi oleh kekuatan-kekuatan dan konflik-konflik dari dalam—manusia memiliki sedikit kesadaran dan kontrol atas kekuatan tersebut menyebabkan perilaku manusia menjadi lebih rasional-bisa diterima secara sosial

-          Tahap-Tahap Perkembangan Psikoseksual

a.       Tahap oral (oral stage) adalah tahap perkembangan Freud yang pertama, terjadi pada usia 18 bulan pertama dimana kesenangan bayi berpusat di sekitar mulut. Mengunyah, mengisap, dan menggigit adalah sumber kesenangan utama dan mengurangi ketegangan pada anak.

b.      Tahap anal (anal stage) adalah tahap perkembangan Freud yang kedua, terjadi antara usia 1,5 atau 2 tahun hingga 3 tahun, di mana kesenangan terbesar anak meliputi anus atau fungsi pembuangan yang berhubungan dengan anus. Menurut Frued gerakan otot mengurangi ketegangan. Anak menikmati saat mengeluarkan dan menahan feses.

c.       Tahap falik (phallic stage) adalah tahap perkembangan ketiga, yang terjadi antara usia 3 sampai 6 tahun. Selama tahap ini, kesenangan berpusat pada alat kelamin karena anak menemukan bahwa memanipulasi diri sendiri memberikan kenikmatan. Karakteristik perilaku pada tahap ini diantaranya tertarik genital, jatuh cinta pada orang tua dengan jenis kelamin berbeda,

d.      Tahap latensi (latency stage) adalah tahap perkembangan keempat yang terjadi antara usia 6 tahun dan pubertas ( 11 atau 12 tahun); anak menekan semua minta seksual dan mengembangkan keterampilan intelektual dan sosial.

e.       Tahap genital (genital stage) adalah tahap perkembangan kelima dan terakhir, terjadi mulai dari masa pubertas (> 12 tahun). Tahap genital adalah masa kebangkitan kembali dorongan seksual; sumber kesenangan seksual sekarang adalah orang di luar keluarga. Individu mulai membangun hubungan dengan lawan jenisnya.

3.             Teori Psikososial

-            Tokoh: Erik H.Erikson

-            Asumsi:

a)         perkembangan kepribadian manusia terjadi sepanjang rentang kehidupan

b)        perkembangan kepribadian manusia dipengaruhi oleh interaksi sosial atau hubungan dengan orang lain.

c)         perkembangan kepribadian manusia ditentukan oleh keberhasilan atau kegagalan seseorang mengatasi krisis yang terjadi pada setiap tahapan sepanjang rentang kehidupan.

-            Tahap-Tahap Perkembangan Psikososial

a)      Infancy (0 –1)

·      Trust vs Mistrust (kepercayaan dasar vs kecurigaan dasar)

·      Rasa percaya tumbuh dari ketiadaan rasa kenyamanan fisik dan ketiadaan rasa takut tentang masa depan. Kebutuhan dasar bayi dipenuhi oleh pengasuh yang sensitif dan responsive.

b)      Early childhood  (1 – 2)

·      Autonomy vs shame, doubt (otonomi vs perasaan malu, ragu-ragu)

·      Anak belajar apa yang diharapkan dari dirinya, kewajiban dan haknya serta pembatasan pada dirinya.

·      Tahap untuk berkembangnya pengungkapan diri dan sifat penuh kasih sayang. Anak harus didorong untuk mengalami situasi yang menuntut otonomi dalam melakukan pilihan bebas.

·      Penanaman rasa malu secara berlebihan akan menyebabkan anak tidak memiliki rasa malu atau mencoba melarikan diri dari hal tersebut dengan diam-diam, tidak suka berterus terang dan serba bertindak dengan diam-diam, akhirnya menyebabkan perasaan malu dan ragu-ragu yang menetap.

c)      Play age  (3 – 6)

·      Initiative vs guilt (inisiatif vs kesalahan)

·      Masa untuk memperluas penguasaan dan tanggung jawab, anak mempunyai tujuan dalam aktifitasnya.

·      Kegiatan utamanya adalah bermain. Tujuan berkembang dalam kegiatan bermainnya, eksplorasi, usaha dan kegagalannya.

·      Bahayanya adalah muncul rasa bersalah pada diri anak karena anak terlalu bergairah dalam mencapai tujuannya termasuk menggunakan cara yang agresif dan manipulatif.

d)     School age (7 – 11)

·      Industry vs inferiority (kerajinan vs inferioritas)

·      Masa anak sekolah, mengembangkan kemampuan belajar, rasa ingin tahu dan sekaligus mengembangkan perasaan rendah diri jika gagal (atau merasa gagal) menguasai tugas-tugas yang dipilihnya atau yang diberikan guru.

e)      Adolescence (12 – 20)

·     Identity vs identity confusion (identitas vs kekacauan identitas)

·     Masa dimana remaja mulai merasakan suatu perasaan identitasnya sendiri, merasa unik, siap untuk berperan dalam masyarakat. Mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya sendiri seperti kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan yang dikejar di masa datang, kekuatan dan hasrat untuk mengontrol nasibnya sendiri.

·     Merupakan masa peralihan dari anak ke dewasa. Menjadikan kadang remaja berada pada kondisi kekacauan identitas. Mereka menjadi hampa, terisolasi, cemas dan bimbang. Mereka menjadi kacau, tingkah lakunya tidak konsisten. Ingin masuk dunia kehidupan dewasa tapi masyarakat menganggap belum mampu dan mereka merasa sudah bukan anak-anak lagi. Terjadi suatu kekacauan.

·     Jika tidak terselesaikan anak akan berada pada kondisi krisis identitas yang akan mengembangkan identitas negatif pada dirinya yaitu dirinya hanya memiliki sifat yang potensial buruk atau tidak berharga

f)       Young adulthood (20-an – 30-an)

·     Intimacy vs isolation (keintiman vs isolasi)

·     Siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang lain, mendambakan hubungan akrab dengan lawan jenis dalam percintaan. Mengembangkan persaudaran,menyiapkan daya untuk membina komitmen dan siap berkorban.

·     Bahayanya adalah muncul isolasi, kecenderungan untuk menghindari hubungan karena tidak mau terlibat atau melibatkan diri dalam keintiman.

g)      Adulthood (40-an50-an )

·     Generativity vs stagnation (generativitas vs stagnasi)

·     Perhatian terhadap apa yang dihasilkan – keturunan, produk, ide, dsb – serta penetapan dan pembentukan pedoman untuk generasi mendatang.

·     Apabila generativitas lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian akan mundur dan mengalami stagnasi.

h)     Mature age (> 60-an)

·     Integrity vs despair (integritas vs putus asa)

·     Masa dimana individu melihat kembali tentang hasil yang dicapai baik ide, produk dan suatu refleksi setelah berhasil menyesuaikan diri dengan keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya.

·     Gaya hidupnya dipertahankan untuk menghindari dari ancaman.

·     Lawannya adalah kondisi putus asa,merasa hiduop tidak berguna dan pasrah pada keadaan menunggu ajal.

4.             Teori Kognitif

a.       Teori Perkembangan Kognitif Piaget

-          Tokoh : Jean Piaget

-          Asumsi :

a)      Interaksi antara maturitas alami dengan belajar-lingkungan

b)      Anak sebagai organisme aktif dalam proses perkembangan

c)       Skema; asimiliasi; serta akomodasi

ΓΌ  Skema

Skema atau skemata adalah struktur kognitif yang digunakan oleh manusia untuk mengadaptasi diri terhadap lingkungan dan menata lingkungan ini secara intelektual. Adaptasi terdiri atas proses yang saling mengisi antara asimilasi dan akomodasi

ΓΌ  Asimilasi

Asimilasi itu suatu proses kognitif, dengan asimilasi seseorang mengintegrasikan bahan-bahan persepsi atau stimulus ke dalam skema yan ada atau tingkah laku yang ada. Asimilasi berlangsung setiap saat. Seseorang tidak hanya memperoses satu stimulis saja, melainkan memproses banyak stimulus. Secara teoritis, asimilasi tidak menghasilkan perubahan skemata, tetapi asimilasi mempengaruhi pertumbuhan skemata. Dengan demikian asimilasi adalah bagian dari proses kognitif, denga proses itu individu secara kognitif megadaptsi diri terhadap lingkungan dan menata lingkungan itu.

ΓΌ  Akomodasi

Akomodasi dapat diartikan sebagai penciptaan skemata baru atau pengubahan skemata lama. Asimilasi dan akomodasi terjadi sama-sama saling mengisi pada setiap individu yang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Proses ini perlu untuk pertumbuhan dan perkembangann kognitif. Antara asimilasi dan akomodasi harus ada keserasian dan disebut oleh Piaget adalah keseimbangan.

-          Tahap Perkembangan Kognitif dari Piaget

a)      Tahap sensorimotorik (lahir – 2 tahun), tahap Piaget yang pertama. Pada tahap ini anak berkembang dari tindakan yang bersifat naluriah-refleks pada waktu lahir ke permulaan pemikiran simbolik. Anak membentuk pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman sensori (seperti melihat,mendengar) dengan aktivitas fisik, motorik.

b)      Tahap praoperasional (2 – 7 tahun), tahap Pieget yang kedua. Pada tahap ini anak mulai menggambarkan dunia dengan kata-kata dan citra; kata-kata dan citra ini merefleksikan peningkatan berpikir simbolik dan lebih dari sekedar hubungan informasi sensoris dan tindakan fisik.

c)      Tahap operasional konkrit (7 – 11 tahun), tahap ketiga dimana anak dapat melakukan operasi dan penalaran logis, menggantikan pemikiran intuitif, sepanjang penalaran dapat diaplikasikan pada contoh khusus atau konkrit. Anak mengklasifikasi objek ke dalam kelompok yang berbeda.

d)     Tahap Operasional formal (11-dewasa), tahap Piaget yang keempat dan terakhir. Pada tahap ini, individu bergerak melebihi pengalaman yang actual dan konkrit. Individu bernalar secara lebih abstrak dan logis. Pikiran menjadi lebih idealistik.

5.             Teori Perkembangan Moral

Teori berkaitan dengan moral juga dikemukakan oleh penganut psikoanalisa dan behaviorisme. Namun pada pembahasan ini hanya dipaparkan teori perkembangan moral dengan pendekatan kognitif dengan tokohnya yaitu Piaget dan Kohlberg. Menurut Piaget dan Kohlberg perkembangan moral berkorelasi dengan perkembangan kecerdasan individu, sehingga seharusnya bila perkembangan kecerdasan telah mencapai kematangan, maka perkembangan moral juga harus mencapai tingkat kematangan.

Selanjutnya pembahasan akan lebih dipersingkat dengan memaparkan teori perkembangan moral menurut Lawrence Kohlberg saja.

Kohlberg mengemukakan teori perkembangan moral berdasar teori Piaget, yaitu dengan pendekatan organismik (melalui tahap-tahap perkembangan yang memiliki urutan pasti dan berlaku secara universal). Selain itu, Kohlberg juga menyelidiki struktur proses berpikir yang mendasari perilaku moral (moral behavior). Kohlberg kemudian merumuskan tiga tingkat perkembangan moral, yang masing-masing tahap ditandai oleh dua tahap. Konsep kunci dari teori Kohlberg ialah internalisasi, yaitu perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.

a.         Tingkat Satu: Penalaran Prakonvensional

Penalaran prakonvensional adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral, penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman ekternal.

-         Tahap 1 : Orientasi hukuman dan ketaatan ialah tahap pertama dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini perkembangan moral didasarkan atas hukuman. Anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat.

-         Tahap 2: Individualisme dan tujuan adalah tahap kedua dari teori ini. Pada tahap ini penalaran moral didasarkan pada imbalan dan kepentingan diri sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.

b.        Tingkat Dua: Penalaran Konvensional

Penalaran konvensional adalah tingkat kedua atau tingkat menengah dari teori perkembangan moral Kohlberg. Internalisasi individu pada tahap ini adalah menengah. Seorang mentaati standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak mentaati standar-standar (internal) orang lain, seperti orangtua atau masyarakat.

-         Tahap 3: Norma-norma interpersonal, pada tahap ini seseorang menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan pada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Anak anak sering mengadopsi standar-standar moral orang tuanya pada tahap ini, sambil mengharapkan dihargai oleh orangtuanya sebagai seorang perempuan yang baik atau laki-laki yang baik.

-         Tahap 4: Moralitas sistem sosial. Pada tahap ini, pertimbangan moral didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.

c.         Tahap Tiga: Penalaran Pascakonvensional

Penalaran pascakonvensional adalah tingkat tertinggi dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seorang mengenal tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi.

-         Tahap 5: Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual, pada tahap ini seseorang mengalami bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain. Seseorang menyadari hukum penting bagi masyarakat, tetapi nilai-nilai seperti kebebasan lebih penting dari pada hukum.

-         Tahap 6: Prinsip-prinsip etis universal, pada tahap ini seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia yang universal. Bila menghadapi konflik secara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu mungkin melibatkan resiko pribadi

6.             Teori-Teori Belajar / Behavioral Theories

a.       Classical Conditioning

-          Tokoh : Ivan Pavlov , John B. Watson

-          Asumsi:

Perkembangan sebagai hasil belajar—asosiasi temporal antara dua peristiwa yang terjadi secara simultan. Perkembangan adalah tingkah laku yang dapat diobservasi, dipelajari melalui pengalaman dengan lingkungan.

-          Konsep: Stimulus Alamiah, Respon Alamiah, Stimulus Bersyarat, Respon Bersyarat, Generalisasi, Diskriminasi, Extinction

b.      Operant Conditioning

-          Tokoh : Tokoh: B.F. Skinner

-          Asumsi:

Perkembangan ditentukan oleh reinforcement.

-          Konsep: Reinforcement (+/-), Reward dan Punishment

c.       Social Cognitive Theory (Bandula’s Theory)

-          Tokoh : Albert Bandula

-          Asumsi :

Faktor manusia dan kognitif, tingkah laku, serta lingkungan adalah faktor determinan utama dalam perkembangan manusia. Contoh dari faktor manusia dan kognitif adalah intelegensi, keterampilan dan control diri

7.             Teori Ekologis

-          Tokoh : Urie Bronfenbrenner

-          Teori ekologis adalah pandangan perkembangan sosio-kultural yang terdiri dari lima sistem lingkungan yang berkisar dari masukan kecil dari interaksi langsung dengan agen sosial sampai pada masukan dari budaya. Kelima sistem tersebut adalah mikrosistem, mesosistem, eksosistem, makrosistem dan kronosistem.
A.     Penutup
Demikianlah tulisan saya mengenai evaluasi diri saya berkaitan dengan psikologi perkembangan. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi orang lain yang membacanya dan terutama kepada penulis sendiri. Perkembangan manusia adalah suatu proses yang sangat kompleks dan tidak bisa dibahas hanya dengan menggunakan satu atau dua pandangan dan pendekatan-pendekatan baik dari bidang ilmu psikologi itu sendiri maupun dari bidang ilmu lainnya. Akhir kata,
“Life is not measured by the number of breaths we take, but by the moments that take our breath away.”
“We do not stop playing because we grow old, but we grow old because we stop playing."
 
B.     Referensi
-          Anonim.2010. Teori Perkembangan Moral Kohlberg. http://www.psikologizone.com/ ,diakses pada tanggal 14 Desember 2012.
-          Developmental Psychology.Encarta Encyclopedia 2007
-          Piaget dan Teorinya. http://ilmuwanmuda.com/ , diakses pada tanggal 14 Desember 2012
-          Santrock, John W. 2003. Adolescence, Perkembangan Remaja. Edisi Keenam. Jakarta : PT Erlangga
-          Sukmawijaya, Yoga. 2008. Teori-Teori Psikologi Perkembangan. http://mypsycif08.wordpress.com/ , diakses pada tanggal 14 Desember 2012.