SOCIAL LOAFING (PEMALASAN SOSIAL)
DAN ETHICAL BEHAVIOR
Syurawasti Muhiddin
Q111 12 901
A. Pendahuluan
Etika
adalah pemikiran yang kritis dan mendasar mengenai ajaran-ajaran moral, dengan
kata lain etika adalah ilmu tentang moralitas. Perwujudan dari etika dapat
dilihat melalui ethical behavior. Ethical behavior dapat dikaji
dalam berbagai aspek termasuk aspek pendidikan.
Ethical
behavior dalam bidang
akademik didefinisikan sebagai perilaku yang ditandai dengan kejujuran,
keadilan, kesetaraan dalam hubungan interpersonal, dan hubungan profesional
akademik dalam penelitian dan kegiatan ilmiah (Banks, Egan, Duplisea, &
Mensah, 2011). Banks, dkk, (2011) juga menambahkan bahwa ethical behavior
menghormati martabat, keragaman, dan hak-hak individu dan kelompok.
Pada
saat bekerja secara berkelompok, terdapat orang yang memberikan kontribusi
penuh., namun ada juga yang seadanya, bahkan tidak berkontribusi sama sekali
tetapi hanya menumpang nama. Perilaku tersebut dalam istilah psikologi disebut
sebagai social loafing (pemalasan sosial)
Karau
dan Williams mendefinisikan social
loafing sebagai penurunan motivasi dan usaha ketika individu bekerja secara
kolektif dalam kelompok dibandingkan dengan ketika bekerja secara individual
atau independen. Social loafing ini juga menunjukkan adanya
kecenderungan untuk mengerahkan usaha yang kurang ketika berada di dalam
kelompok untuk mencapai tujuan bersama disbanding ketika diberi tanggung jawab
secara individu (Beatty, Haas, & Sciglimpaglia, 1996).
Social
loafing mampu
melemahkan perilaku lain apabila dilakukan secara terus-menerus. Orang akan
cenderung merasa malas dan tidak mampu mengembangkan tanggung jawabnya sebagai
anggota atau bagian dari kelompok kerja. Dalam bidang akademik, social
loafing dapat melemahkan empat karakteristik dari ethical behavior,
yaitu kejujuran, keadilan, kesetaraan hubungan interpersonal, dan hubungan
profesional.
Penelitian
tentang social loafing dalam dunia akademik diantaranya dilakukan oleh Dewi Tri
Rosita dan Ayu Dwi Nindyati. Kesimpulan dari penelitian dapat dijelaskan bahwa
semakin tinggi social loafing, maka semakin rendah ethical behavior
yang ditampilkan oleh mahasiswa, begitu pula sebaliknya. Hasil analisis
deskriptif menyatakan bahwa berdasarkan
aspek jenis kelamin, laki-laki memiliki nilai rata-rata social loafing
lebih tinggi disbanding nilai rata-rata perempuan. Pada ethical behavior,
nilai rata-rata etchical behavior laki-laki lebih rendah dari pada nilai
rata-rata perempuan.
B. Hasil
Pengamatan Penulis
Penulis
merupakan mahasiswa yang sering mendapatkan tugas kelompok, bahkan tugas-tugas
selama kuliah didominasi oleh tugas kelompok. Penulis pun mengamati fenomena social
loafing dalam kelompok penulis sendiri dan juga kelompok yang lain di kelas
penulis.
Berdasarkan
apa yang dilihat oleh penulis, terdapat pula social loafing dalam kerja
kelompok di lingkungan penulis. Hal ini banyak ditemukan penulis dalam kelompok
lain, tetapi dalam kelompok penulis sendiri social loafing terkadang
masih ada. Dalam kerja kelompok hanya orang-orang tertentu yang bekerja keras,
sedangkan yang lainnya bekerja seadanya, tapi pada akhirnya nilai yang
diberikan sama karena merupakan nilai kelompok. Seperti yang pernah dikatakan
oleh salah seorang dosen psikologi, bahwa nilai yang akan dia berikan dalam
satu kelompok itu sama, dia tidak tahu bagaimana proses pengerjaan tugas itu.
Apakah semua bekerja atau tidak, tetapi nilai semua anggota dalam satu kelompok
akan disamakan.
Ternyata
apa yang penulis amati sesuai dengan hasil penelitian di atas. Laki-laki lebih
cenderung melakukan social loafing daripada perempuan. Mungkin karena
perbedaan watak dan pola pikir antara laki-laki dan perempuan. Biasanya juga
teman laki-laki menganggap biasa saja hal ini. Bentuk tugas kelompok yang
umumnya kami peroleh harus dipresentasikan. Jadi biasanya mereka baru mengambil
peran ketika ingin mempresentasikan hasil kerja kelompok itu.
Menurut
pengalaman penulis dan berdasarkan apa yang dilihat secara langsung, social
loafing ini tidak disadari oleh sebagian besar mahasiswa, baik oleh
pelakunya maupun teman kelompoknya yang sudah bekerja keras. Mungkin karena hal
ini sudah sering terjadi.
Saya
ingin menjabarkan sedikit mengenai bentuk atau tatacara pengerjaan tugas
kelompok yang umumnya dilakukan di lingkungan penulis. Seperti yang telah
dikatakan sebelumnya bahwa sebagian besar tugas kelompok yang diberikan kepada
kami harus dipresentasikan. Jadi, biasanya salah seorang yang memiliki peran
dominan membagi materinya untuk teman kelompok yang lain. Setiap anggota
kelompok mendapatkan bagiannya masing-masing dan bertanggung jawab untuk
mencari materi terkait dan membuat slide presentasi. Jika mereka tidak
melakukannya, tugas kelompok tidak akan selesai. Saya pikir proses ini cukup
efektif untuk mengurangi social loafing. Meskipun demikian cara ini bisa
menimbulkan isu bekerja secara individual dalam kelompok. Tapi penulis melihat
bahwa justru ketika bekerja secara individu, motivasi mahasiswa lebih besar. Mereka
merasa bertanggung jawab dan lebih leluasa untuk berekspresi.
Adapula
cara lain, yaitu salah seorang yang memiliki peran dominan mencari semua materi
terkait tugasnya. Setelah itu dia memberikan materi yang sudah lengkap itu
kepada anggota kelompok lain dan membagi bagian yang akan dipresentasikan oleh
setiap anggota kelompok. Setiap anggota kelompok tinggal membuat slide
presentasi dari materi yang menjadi bagiannya. Jika seperti ini, maka jelaslah
bahwa hanya satu orang yang dominan bekerja.
Jika Penulis
sendiri terlibat dalam suatu kelompok yang tugasnya dikerjakan di luar kelas, biasanya
melakukan dua cara di atas, kecuali jika tugas kelompok itu dikerjakan dalam
kelas, biasanya penulis tidak menjadi orang yang dominan lagi.
Penulis
sudah jarang melihat pengerjaan kelompok yang dilimpahkan pada satu orang,
meskipun pada awal-awal semester penulis pernah melihat dan bahkan penulis
sendiri yang melakukannya. Penulis mengerjakan keseluruhan tugas kelompok, baik
makalah/paper maupun slide presentasi.
Penulis
melihat bahwa cara di atas, terutama cara yang kedua memberi kesempatan untuk
mahasiswa yang memang cenderung melakukan social loafing. Mahasiswa HS
misalnya, penulis melihat bahwa dalam setiap kelompok yang dia terlibat di
dalamnya, dia selalu memberikan kontribusi yang seadanya saja. Akan lebih baik
mungkin jika dia tidak mendapat bagian materi, dia hanya langsung presentasi.
Namun mahasiswa HS ini apabila diberikan tanggung jawab berupa bagian materi,
dia akan mengerjakannya. Jadi cara pertama lebih mengurangi social loafing
daripada cara kedua.
Bagaimana
dengan reaksi dan perasaan social loafer dalam kelompoknya? Berdasarkan
apa yang penulis lihat. Mereka merasa tidak enak dan tidak nyaman, merasa
bersalah, dan juga malu. Hal ini wajar saja. Mahasiswa secara internal masih
memiliki kontrol terhadap aturan atau norma-norma yang berlaku. Di samping itu,
adapula yang tampak biasa saja. Penulis berpendapat hal ini disebabkan karena
mereka yang dikatakan menjadi korban social loafer juga tidak
mempermasalahkan adanya anggota kelompok yang menunjukkan social loafing.
Jadi pelaku social loafing itu merasa biasa saja, mungkin dia berpikir
bahwa sebaiknya saya menyerahkannya kepada si Y misalnya, yang lebih pandai dan
sangat rajin. Jadi dia merasa aman saja.
Bagamana
dengan perasaan korban social loafer? Terdapat beragam reaksi dan
perasaan. Kebanyakan penulis melihat bahwa korban social loafer bisa
memaklumi. Dia tidak mempermasalahkan anggota kelompoknya yang tidak memberikan
kontribusi atau hanya memberikan kontribusi seadanya. Penulis masih jarang
menemukan korban social loafer yang menghilangkan nama teman kelompoknya
yang menjadi pelaku social loafing. Ada juga yang nampak biasa saja atau
santai. Dalam hal ini mahasiswa merasa demikian karena cenderung tidak mau
repot dengan hal-hal yang dianggapnya kecil. Mahasiswa lebih mengutamakan penyelesaian
tugas kelompok itu sendiri dibanding memikirkan anggota kelompoknya yang tidak
memberikan kontribusi terhadap pengerjaan tugas tersebut. Meskipun mereka
bersikap santai, mereka juga memikirkan perasaan dan kontribusi anggota
kelompok lain yang sama-sama mengerjakan tugas dan tidak melakukan social
loafing.
Penulis
sangat jarang menemukan mahasiswa yang menunjukkan perasaan negatif (seperti
sebal, kesal, jengkel, merasa tidak adil, capek, kecewa, merasa tidak dihargai,
malas, miris dan terbebani, benci, sangat tidak menyenangkan, dan kurang suka).
Mungkin ada yang merasakan hal tersebut, tetapi tidak ditunjukkan dalam bentuk
perilaku yang tampak.
Penulis
sendiri menganggapnya sebagai hal yang biasa dan bersikap santai. Penulis
memang sering menjadi orang yang dominan dalam kerja kelompok dan mungkin tanpa
penulis sadari, penulis menjadi korban social loafer. Penulis lebih
berorientasi pada penyelesaian tugas itu sendiri. Daripada dilimpahkan kepada
anggota yang belum tentu bisa melakukannya tepat waktu, akan lebih efesien jika
penulislah yang mengerjakannya. Pada semester dua ini, penulis lebih banyak
menggunakan cara pertama seperti yang dijelaskan di atas. Diharapkan semua
anggota kelompok merasa bertanggung jawab menyelesaikan tugas tersebut.
Penulis
juga beranggapan bahwa biasanya jika bekerja secara berkelompok, pekerjaan
tersebut lambat selesai karena adanya kegiatan lain disela-sela mengerjakan
tugas, seperti makan bersama, berbincang-bincang di luar topik tugas, dan
sebagainya. Menurut penulis waktu yang ada tidak dimanfaatkan dengan baik.
Dengan demikian penulis dan sebagian besar teman-teman lain memutuskan untuk
mengerjakan sendiri sesuai dengan bagian masing-masing. Sebelum hari
presentasi, semua anggota kelompok mengumpulkan bagiannya menjadi satu dan
semua bisa belajar materi secara keseluruhan. Jika ada yang ingin diperbaiki,
maka kita bisa memperbaikinya dengan izin teman yang menmpunyai bagian materi
itu. Kita tidak bisa juga mengubahnya secara sepihak. Itu dapat berarti kita
tidak menghargai usahanya dalam kelompok.
Berhubungan
dengan hal itu, penulis mengira bahwa ada mahasiswa yang melakukan social
loafing karena merasa tidak dihargai kinerjanya dalam kelompok. Jadi lebih
baik jika dia tidak mengerjakan apa-apa dan menyerahkan semuanya kepada mereka
yang memiliki kinerja dominan. Penulis sangat menghindari hal ini.
C. Kesimpulan
Dari
hasil pengamatan, penulis menyimpulkan bahwa social loafing terjadi di
lingkungan kelas penulis dengan level rendah ke level sedang. Social loafing
biasanya tidak disadari dalam suatu kelompok karena mungkin hal ini sudah
sering terjadi. Social loafing bisa terjadi karena ada mahasiswa dalam
kelompok yang memang dianggap lebih unggul, baik dari segi pengetahuan maupun
kinerja. Dengan demikian social loafer merasa tidak perlu melakukan
apa-apa. Hal ini menjadi kesempatan para mahasiswa yang memang cenderung
melakukan social loafing, untuk melakukannya lagi. Para pelaku social
loafing menggambarkan reaksi perasaan yang dirasakannya diantaranya merasa
tidak enak dan tidak nyaman, merasa bersalah, dan malu. Dengan demikian, para
pelaku social loafing masih memiliki kontrol internal terhadap aturan
atau norma yang berlaku. Adapun mahasiswa yang menjadi korban social loafing
kebanyakan bersikap biasa saja dan santai serta bisa memaklumi perbuatan
tersebut. Sangat jarang yang memperlihatkan perasaan negatifnya.
Berdasarkan
hasil pengamatan ini diharapkan semua mahasiswa lebih memerhatikan dan
menyadari pentingnya kerjasama kelompok dengan tidak melakukan social loafing
yang dapat menurunkan ethical behavior mahasiswa. Perilaku ini
diharapkan dapat dikontrol dan dihindari dengan meningkatkan kerjasama dan
komitmen dalam kelompok dengan pembagian tugas yang jelas dan adil.
Tulisan
ini bersifat subjektif, dengan demikian bersifat tidak ilmiah. Tulisan ini
hanya didasarkan pada hasil pengamatan pribadi penulis. Penulis ingin
membenarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi Tri Rosita dan Ayu Dwi
Nindyati. Kedepannya sangat memungkinkan untuk mengembangkan penelitian dengan
topik social loafing, terutama dalam bidang akademik.