Senin, 11 Maret 2013


SOCIAL LOAFING (PEMALASAN SOSIAL)
DAN ETHICAL BEHAVIOR

Syurawasti Muhiddin
Q111 12 901


A.  Pendahuluan
Etika adalah pemikiran yang kritis dan mendasar mengenai ajaran-ajaran moral, dengan kata lain etika adalah ilmu tentang moralitas. Perwujudan dari etika dapat dilihat melalui ethical behavior. Ethical behavior dapat dikaji dalam berbagai aspek termasuk aspek pendidikan.
Ethical behavior dalam bidang akademik didefinisikan sebagai perilaku yang ditandai dengan kejujuran, keadilan, kesetaraan dalam hubungan interpersonal, dan hubungan profesional akademik dalam penelitian dan kegiatan ilmiah (Banks, Egan, Duplisea, & Mensah, 2011). Banks, dkk, (2011) juga menambahkan bahwa ethical behavior menghormati martabat, keragaman, dan hak-hak individu dan kelompok.
Pada saat bekerja secara berkelompok, terdapat orang yang memberikan kontribusi penuh., namun ada juga yang seadanya, bahkan tidak berkontribusi sama sekali tetapi hanya menumpang nama. Perilaku tersebut dalam istilah psikologi disebut sebagai social loafing (pemalasan sosial)
Karau dan Williams mendefinisikan  social loafing sebagai penurunan motivasi dan usaha ketika individu bekerja secara kolektif dalam kelompok dibandingkan dengan ketika bekerja secara individual atau independen. Social loafing ini juga menunjukkan adanya kecenderungan untuk mengerahkan usaha yang kurang ketika berada di dalam kelompok untuk mencapai tujuan bersama disbanding ketika diberi tanggung jawab secara individu (Beatty, Haas, & Sciglimpaglia, 1996).
Social loafing mampu melemahkan perilaku lain apabila dilakukan secara terus-menerus. Orang akan cenderung merasa malas dan tidak mampu mengembangkan tanggung jawabnya sebagai anggota atau bagian dari kelompok kerja. Dalam bidang akademik, social loafing dapat melemahkan empat karakteristik dari ethical behavior, yaitu kejujuran, keadilan, kesetaraan hubungan interpersonal, dan hubungan profesional.
Penelitian tentang social loafing dalam dunia akademik diantaranya dilakukan oleh Dewi Tri Rosita dan Ayu Dwi Nindyati. Kesimpulan dari penelitian dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi social loafing, maka semakin rendah ethical behavior yang ditampilkan oleh mahasiswa, begitu pula sebaliknya. Hasil analisis deskriptif  menyatakan bahwa berdasarkan aspek jenis kelamin, laki-laki memiliki nilai rata-rata social loafing lebih tinggi disbanding nilai rata-rata perempuan. Pada ethical behavior, nilai rata-rata etchical behavior laki-laki lebih rendah dari pada nilai rata-rata perempuan.

B.  Hasil Pengamatan Penulis
Penulis merupakan mahasiswa yang sering mendapatkan tugas kelompok, bahkan tugas-tugas selama kuliah didominasi oleh tugas kelompok. Penulis pun mengamati fenomena social loafing dalam kelompok penulis sendiri dan juga kelompok yang lain di kelas penulis.
Berdasarkan apa yang dilihat oleh penulis, terdapat pula social loafing dalam kerja kelompok di lingkungan penulis. Hal ini banyak ditemukan penulis dalam kelompok lain, tetapi dalam kelompok penulis sendiri social loafing terkadang masih ada. Dalam kerja kelompok hanya orang-orang tertentu yang bekerja keras, sedangkan yang lainnya bekerja seadanya, tapi pada akhirnya nilai yang diberikan sama karena merupakan nilai kelompok. Seperti yang pernah dikatakan oleh salah seorang dosen psikologi, bahwa nilai yang akan dia berikan dalam satu kelompok itu sama, dia tidak tahu bagaimana proses pengerjaan tugas itu. Apakah semua bekerja atau tidak, tetapi nilai semua anggota dalam satu kelompok akan disamakan.
Ternyata apa yang penulis amati sesuai dengan hasil penelitian di atas. Laki-laki lebih cenderung melakukan social loafing daripada perempuan. Mungkin karena perbedaan watak dan pola pikir antara laki-laki dan perempuan. Biasanya juga teman laki-laki menganggap biasa saja hal ini. Bentuk tugas kelompok yang umumnya kami peroleh harus dipresentasikan. Jadi biasanya mereka baru mengambil peran ketika ingin mempresentasikan hasil kerja kelompok itu.
Menurut pengalaman penulis dan berdasarkan apa yang dilihat secara langsung, social loafing ini tidak disadari oleh sebagian besar mahasiswa, baik oleh pelakunya maupun teman kelompoknya yang sudah bekerja keras. Mungkin karena hal ini sudah sering terjadi.
Saya ingin menjabarkan sedikit mengenai bentuk atau tatacara pengerjaan tugas kelompok yang umumnya dilakukan di lingkungan penulis. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa sebagian besar tugas kelompok yang diberikan kepada kami harus dipresentasikan. Jadi, biasanya salah seorang yang memiliki peran dominan membagi materinya untuk teman kelompok yang lain. Setiap anggota kelompok mendapatkan bagiannya masing-masing dan bertanggung jawab untuk mencari materi terkait dan membuat slide presentasi. Jika mereka tidak melakukannya, tugas kelompok tidak akan selesai. Saya pikir proses ini cukup efektif untuk mengurangi social loafing. Meskipun demikian cara ini bisa menimbulkan isu bekerja secara individual dalam kelompok. Tapi penulis melihat bahwa justru ketika bekerja secara individu, motivasi mahasiswa lebih besar. Mereka merasa bertanggung jawab dan lebih leluasa untuk berekspresi.
Adapula cara lain, yaitu salah seorang yang memiliki peran dominan mencari semua materi terkait tugasnya. Setelah itu dia memberikan materi yang sudah lengkap itu kepada anggota kelompok lain dan membagi bagian yang akan dipresentasikan oleh setiap anggota kelompok. Setiap anggota kelompok tinggal membuat slide presentasi dari materi yang menjadi bagiannya. Jika seperti ini, maka jelaslah bahwa hanya satu orang yang dominan bekerja.
Jika Penulis sendiri terlibat dalam suatu kelompok yang tugasnya dikerjakan di luar kelas, biasanya melakukan dua cara di atas, kecuali jika tugas kelompok itu dikerjakan dalam kelas, biasanya penulis tidak menjadi orang yang dominan lagi.
Penulis sudah jarang melihat pengerjaan kelompok yang dilimpahkan pada satu orang, meskipun pada awal-awal semester penulis pernah melihat dan bahkan penulis sendiri yang melakukannya. Penulis mengerjakan keseluruhan tugas kelompok, baik makalah/paper maupun slide presentasi.
Penulis melihat bahwa cara di atas, terutama cara yang kedua memberi kesempatan untuk mahasiswa yang memang cenderung melakukan social loafing. Mahasiswa HS misalnya, penulis melihat bahwa dalam setiap kelompok yang dia terlibat di dalamnya, dia selalu memberikan kontribusi yang seadanya saja. Akan lebih baik mungkin jika dia tidak mendapat bagian materi, dia hanya langsung presentasi. Namun mahasiswa HS ini apabila diberikan tanggung jawab berupa bagian materi, dia akan mengerjakannya. Jadi cara pertama lebih mengurangi social loafing daripada cara kedua.
Bagaimana dengan reaksi dan perasaan social loafer dalam kelompoknya? Berdasarkan apa yang penulis lihat. Mereka merasa tidak enak dan tidak nyaman, merasa bersalah, dan juga malu. Hal ini wajar saja. Mahasiswa secara internal masih memiliki kontrol terhadap aturan atau norma-norma yang berlaku. Di samping itu, adapula yang tampak biasa saja. Penulis berpendapat hal ini disebabkan karena mereka yang dikatakan menjadi korban social loafer juga tidak mempermasalahkan adanya anggota kelompok yang menunjukkan social loafing. Jadi pelaku social loafing itu merasa biasa saja, mungkin dia berpikir bahwa sebaiknya saya menyerahkannya kepada si Y misalnya, yang lebih pandai dan sangat rajin. Jadi dia merasa aman saja.
Bagamana dengan perasaan korban social loafer? Terdapat beragam reaksi dan perasaan. Kebanyakan penulis melihat bahwa korban social loafer bisa memaklumi. Dia tidak mempermasalahkan anggota kelompoknya yang tidak memberikan kontribusi atau hanya memberikan kontribusi seadanya. Penulis masih jarang menemukan korban social loafer yang menghilangkan nama teman kelompoknya yang menjadi pelaku social loafing. Ada juga yang nampak biasa saja atau santai. Dalam hal ini mahasiswa merasa demikian karena cenderung tidak mau repot dengan hal-hal yang dianggapnya kecil. Mahasiswa lebih mengutamakan penyelesaian tugas kelompok itu sendiri dibanding memikirkan anggota kelompoknya yang tidak memberikan kontribusi terhadap pengerjaan tugas tersebut. Meskipun mereka bersikap santai, mereka juga memikirkan perasaan dan kontribusi anggota kelompok lain yang sama-sama mengerjakan tugas dan tidak melakukan social loafing.
Penulis sangat jarang menemukan mahasiswa yang menunjukkan perasaan negatif (seperti sebal, kesal, jengkel, merasa tidak adil, capek, kecewa, merasa tidak dihargai, malas, miris dan terbebani, benci, sangat tidak menyenangkan, dan kurang suka). Mungkin ada yang merasakan hal tersebut, tetapi tidak ditunjukkan dalam bentuk perilaku yang tampak.
Penulis sendiri menganggapnya sebagai hal yang biasa dan bersikap santai. Penulis memang sering menjadi orang yang dominan dalam kerja kelompok dan mungkin tanpa penulis sadari, penulis menjadi korban social loafer. Penulis lebih berorientasi pada penyelesaian tugas itu sendiri. Daripada dilimpahkan kepada anggota yang belum tentu bisa melakukannya tepat waktu, akan lebih efesien jika penulislah yang mengerjakannya. Pada semester dua ini, penulis lebih banyak menggunakan cara pertama seperti yang dijelaskan di atas. Diharapkan semua anggota kelompok merasa bertanggung jawab menyelesaikan tugas tersebut.
Penulis juga beranggapan bahwa biasanya jika bekerja secara berkelompok, pekerjaan tersebut lambat selesai karena adanya kegiatan lain disela-sela mengerjakan tugas, seperti makan bersama, berbincang-bincang di luar topik tugas, dan sebagainya. Menurut penulis waktu yang ada tidak dimanfaatkan dengan baik. Dengan demikian penulis dan sebagian besar teman-teman lain memutuskan untuk mengerjakan sendiri sesuai dengan bagian masing-masing. Sebelum hari presentasi, semua anggota kelompok mengumpulkan bagiannya menjadi satu dan semua bisa belajar materi secara keseluruhan. Jika ada yang ingin diperbaiki, maka kita bisa memperbaikinya dengan izin teman yang menmpunyai bagian materi itu. Kita tidak bisa juga mengubahnya secara sepihak. Itu dapat berarti kita tidak menghargai usahanya dalam kelompok.
Berhubungan dengan hal itu, penulis mengira bahwa ada mahasiswa yang melakukan social loafing karena merasa tidak dihargai kinerjanya dalam kelompok. Jadi lebih baik jika dia tidak mengerjakan apa-apa dan menyerahkan semuanya kepada mereka yang memiliki kinerja dominan. Penulis sangat menghindari hal ini.

C.  Kesimpulan
Dari hasil pengamatan, penulis menyimpulkan bahwa social loafing terjadi di lingkungan kelas penulis dengan level rendah ke level sedang. Social loafing biasanya tidak disadari dalam suatu kelompok karena mungkin hal ini sudah sering terjadi. Social loafing bisa terjadi karena ada mahasiswa dalam kelompok yang memang dianggap lebih unggul, baik dari segi pengetahuan maupun kinerja. Dengan demikian social loafer merasa tidak perlu melakukan apa-apa. Hal ini menjadi kesempatan para mahasiswa yang memang cenderung melakukan social loafing, untuk melakukannya lagi. Para pelaku social loafing menggambarkan reaksi perasaan yang dirasakannya diantaranya merasa tidak enak dan tidak nyaman, merasa bersalah, dan malu. Dengan demikian, para pelaku social loafing masih memiliki kontrol internal terhadap aturan atau norma yang berlaku. Adapun mahasiswa yang menjadi korban social loafing kebanyakan bersikap biasa saja dan santai serta bisa memaklumi perbuatan tersebut. Sangat jarang yang memperlihatkan perasaan negatifnya.
Berdasarkan hasil pengamatan ini diharapkan semua mahasiswa lebih memerhatikan dan menyadari pentingnya kerjasama kelompok dengan tidak melakukan social loafing yang dapat menurunkan ethical behavior mahasiswa. Perilaku ini diharapkan dapat dikontrol dan dihindari dengan meningkatkan kerjasama dan komitmen dalam kelompok dengan pembagian tugas yang jelas dan adil.
Tulisan ini bersifat subjektif, dengan demikian bersifat tidak ilmiah. Tulisan ini hanya didasarkan pada hasil pengamatan pribadi penulis. Penulis ingin membenarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi Tri Rosita dan Ayu Dwi Nindyati. Kedepannya sangat memungkinkan untuk mengembangkan penelitian dengan topik social loafing, terutama dalam bidang akademik.

SOCIAL LOAFING (PEMALASAN SOSIAL)
DAN ETHICAL BEHAVIOR

Syurawasti Muhiddin
Q111 12 901


A.  Pendahuluan
Etika adalah pemikiran yang kritis dan mendasar mengenai ajaran-ajaran moral, dengan kata lain etika adalah ilmu tentang moralitas. Perwujudan dari etika dapat dilihat melalui ethical behavior. Ethical behavior dapat dikaji dalam berbagai aspek termasuk aspek pendidikan.
Ethical behavior dalam bidang akademik didefinisikan sebagai perilaku yang ditandai dengan kejujuran, keadilan, kesetaraan dalam hubungan interpersonal, dan hubungan profesional akademik dalam penelitian dan kegiatan ilmiah (Banks, Egan, Duplisea, & Mensah, 2011). Banks, dkk, (2011) juga menambahkan bahwa ethical behavior menghormati martabat, keragaman, dan hak-hak individu dan kelompok.
Pada saat bekerja secara berkelompok, terdapat orang yang memberikan kontribusi penuh., namun ada juga yang seadanya, bahkan tidak berkontribusi sama sekali tetapi hanya menumpang nama. Perilaku tersebut dalam istilah psikologi disebut sebagai social loafing (pemalasan sosial)
Karau dan Williams mendefinisikan  social loafing sebagai penurunan motivasi dan usaha ketika individu bekerja secara kolektif dalam kelompok dibandingkan dengan ketika bekerja secara individual atau independen. Social loafing ini juga menunjukkan adanya kecenderungan untuk mengerahkan usaha yang kurang ketika berada di dalam kelompok untuk mencapai tujuan bersama disbanding ketika diberi tanggung jawab secara individu (Beatty, Haas, & Sciglimpaglia, 1996).
Social loafing mampu melemahkan perilaku lain apabila dilakukan secara terus-menerus. Orang akan cenderung merasa malas dan tidak mampu mengembangkan tanggung jawabnya sebagai anggota atau bagian dari kelompok kerja. Dalam bidang akademik, social loafing dapat melemahkan empat karakteristik dari ethical behavior, yaitu kejujuran, keadilan, kesetaraan hubungan interpersonal, dan hubungan profesional.
Penelitian tentang social loafing dalam dunia akademik diantaranya dilakukan oleh Dewi Tri Rosita dan Ayu Dwi Nindyati. Kesimpulan dari penelitian dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi social loafing, maka semakin rendah ethical behavior yang ditampilkan oleh mahasiswa, begitu pula sebaliknya. Hasil analisis deskriptif  menyatakan bahwa berdasarkan aspek jenis kelamin, laki-laki memiliki nilai rata-rata social loafing lebih tinggi disbanding nilai rata-rata perempuan. Pada ethical behavior, nilai rata-rata etchical behavior laki-laki lebih rendah dari pada nilai rata-rata perempuan.

B.  Hasil Pengamatan Penulis
Penulis merupakan mahasiswa yang sering mendapatkan tugas kelompok, bahkan tugas-tugas selama kuliah didominasi oleh tugas kelompok. Penulis pun mengamati fenomena social loafing dalam kelompok penulis sendiri dan juga kelompok yang lain di kelas penulis.
Berdasarkan apa yang dilihat oleh penulis, terdapat pula social loafing dalam kerja kelompok di lingkungan penulis. Hal ini banyak ditemukan penulis dalam kelompok lain, tetapi dalam kelompok penulis sendiri social loafing terkadang masih ada. Dalam kerja kelompok hanya orang-orang tertentu yang bekerja keras, sedangkan yang lainnya bekerja seadanya, tapi pada akhirnya nilai yang diberikan sama karena merupakan nilai kelompok. Seperti yang pernah dikatakan oleh salah seorang dosen psikologi, bahwa nilai yang akan dia berikan dalam satu kelompok itu sama, dia tidak tahu bagaimana proses pengerjaan tugas itu. Apakah semua bekerja atau tidak, tetapi nilai semua anggota dalam satu kelompok akan disamakan.
Ternyata apa yang penulis amati sesuai dengan hasil penelitian di atas. Laki-laki lebih cenderung melakukan social loafing daripada perempuan. Mungkin karena perbedaan watak dan pola pikir antara laki-laki dan perempuan. Biasanya juga teman laki-laki menganggap biasa saja hal ini. Bentuk tugas kelompok yang umumnya kami peroleh harus dipresentasikan. Jadi biasanya mereka baru mengambil peran ketika ingin mempresentasikan hasil kerja kelompok itu.
Menurut pengalaman penulis dan berdasarkan apa yang dilihat secara langsung, social loafing ini tidak disadari oleh sebagian besar mahasiswa, baik oleh pelakunya maupun teman kelompoknya yang sudah bekerja keras. Mungkin karena hal ini sudah sering terjadi.
Saya ingin menjabarkan sedikit mengenai bentuk atau tatacara pengerjaan tugas kelompok yang umumnya dilakukan di lingkungan penulis. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa sebagian besar tugas kelompok yang diberikan kepada kami harus dipresentasikan. Jadi, biasanya salah seorang yang memiliki peran dominan membagi materinya untuk teman kelompok yang lain. Setiap anggota kelompok mendapatkan bagiannya masing-masing dan bertanggung jawab untuk mencari materi terkait dan membuat slide presentasi. Jika mereka tidak melakukannya, tugas kelompok tidak akan selesai. Saya pikir proses ini cukup efektif untuk mengurangi social loafing. Meskipun demikian cara ini bisa menimbulkan isu bekerja secara individual dalam kelompok. Tapi penulis melihat bahwa justru ketika bekerja secara individu, motivasi mahasiswa lebih besar. Mereka merasa bertanggung jawab dan lebih leluasa untuk berekspresi.
Adapula cara lain, yaitu salah seorang yang memiliki peran dominan mencari semua materi terkait tugasnya. Setelah itu dia memberikan materi yang sudah lengkap itu kepada anggota kelompok lain dan membagi bagian yang akan dipresentasikan oleh setiap anggota kelompok. Setiap anggota kelompok tinggal membuat slide presentasi dari materi yang menjadi bagiannya. Jika seperti ini, maka jelaslah bahwa hanya satu orang yang dominan bekerja.
Jika Penulis sendiri terlibat dalam suatu kelompok yang tugasnya dikerjakan di luar kelas, biasanya melakukan dua cara di atas, kecuali jika tugas kelompok itu dikerjakan dalam kelas, biasanya penulis tidak menjadi orang yang dominan lagi.
Penulis sudah jarang melihat pengerjaan kelompok yang dilimpahkan pada satu orang, meskipun pada awal-awal semester penulis pernah melihat dan bahkan penulis sendiri yang melakukannya. Penulis mengerjakan keseluruhan tugas kelompok, baik makalah/paper maupun slide presentasi.
Penulis melihat bahwa cara di atas, terutama cara yang kedua memberi kesempatan untuk mahasiswa yang memang cenderung melakukan social loafing. Mahasiswa HS misalnya, penulis melihat bahwa dalam setiap kelompok yang dia terlibat di dalamnya, dia selalu memberikan kontribusi yang seadanya saja. Akan lebih baik mungkin jika dia tidak mendapat bagian materi, dia hanya langsung presentasi. Namun mahasiswa HS ini apabila diberikan tanggung jawab berupa bagian materi, dia akan mengerjakannya. Jadi cara pertama lebih mengurangi social loafing daripada cara kedua.
Bagaimana dengan reaksi dan perasaan social loafer dalam kelompoknya? Berdasarkan apa yang penulis lihat. Mereka merasa tidak enak dan tidak nyaman, merasa bersalah, dan juga malu. Hal ini wajar saja. Mahasiswa secara internal masih memiliki kontrol terhadap aturan atau norma-norma yang berlaku. Di samping itu, adapula yang tampak biasa saja. Penulis berpendapat hal ini disebabkan karena mereka yang dikatakan menjadi korban social loafer juga tidak mempermasalahkan adanya anggota kelompok yang menunjukkan social loafing. Jadi pelaku social loafing itu merasa biasa saja, mungkin dia berpikir bahwa sebaiknya saya menyerahkannya kepada si Y misalnya, yang lebih pandai dan sangat rajin. Jadi dia merasa aman saja.
Bagamana dengan perasaan korban social loafer? Terdapat beragam reaksi dan perasaan. Kebanyakan penulis melihat bahwa korban social loafer bisa memaklumi. Dia tidak mempermasalahkan anggota kelompoknya yang tidak memberikan kontribusi atau hanya memberikan kontribusi seadanya. Penulis masih jarang menemukan korban social loafer yang menghilangkan nama teman kelompoknya yang menjadi pelaku social loafing. Ada juga yang nampak biasa saja atau santai. Dalam hal ini mahasiswa merasa demikian karena cenderung tidak mau repot dengan hal-hal yang dianggapnya kecil. Mahasiswa lebih mengutamakan penyelesaian tugas kelompok itu sendiri dibanding memikirkan anggota kelompoknya yang tidak memberikan kontribusi terhadap pengerjaan tugas tersebut. Meskipun mereka bersikap santai, mereka juga memikirkan perasaan dan kontribusi anggota kelompok lain yang sama-sama mengerjakan tugas dan tidak melakukan social loafing.
Penulis sangat jarang menemukan mahasiswa yang menunjukkan perasaan negatif (seperti sebal, kesal, jengkel, merasa tidak adil, capek, kecewa, merasa tidak dihargai, malas, miris dan terbebani, benci, sangat tidak menyenangkan, dan kurang suka). Mungkin ada yang merasakan hal tersebut, tetapi tidak ditunjukkan dalam bentuk perilaku yang tampak.
Penulis sendiri menganggapnya sebagai hal yang biasa dan bersikap santai. Penulis memang sering menjadi orang yang dominan dalam kerja kelompok dan mungkin tanpa penulis sadari, penulis menjadi korban social loafer. Penulis lebih berorientasi pada penyelesaian tugas itu sendiri. Daripada dilimpahkan kepada anggota yang belum tentu bisa melakukannya tepat waktu, akan lebih efesien jika penulislah yang mengerjakannya. Pada semester dua ini, penulis lebih banyak menggunakan cara pertama seperti yang dijelaskan di atas. Diharapkan semua anggota kelompok merasa bertanggung jawab menyelesaikan tugas tersebut.
Penulis juga beranggapan bahwa biasanya jika bekerja secara berkelompok, pekerjaan tersebut lambat selesai karena adanya kegiatan lain disela-sela mengerjakan tugas, seperti makan bersama, berbincang-bincang di luar topik tugas, dan sebagainya. Menurut penulis waktu yang ada tidak dimanfaatkan dengan baik. Dengan demikian penulis dan sebagian besar teman-teman lain memutuskan untuk mengerjakan sendiri sesuai dengan bagian masing-masing. Sebelum hari presentasi, semua anggota kelompok mengumpulkan bagiannya menjadi satu dan semua bisa belajar materi secara keseluruhan. Jika ada yang ingin diperbaiki, maka kita bisa memperbaikinya dengan izin teman yang menmpunyai bagian materi itu. Kita tidak bisa juga mengubahnya secara sepihak. Itu dapat berarti kita tidak menghargai usahanya dalam kelompok.
Berhubungan dengan hal itu, penulis mengira bahwa ada mahasiswa yang melakukan social loafing karena merasa tidak dihargai kinerjanya dalam kelompok. Jadi lebih baik jika dia tidak mengerjakan apa-apa dan menyerahkan semuanya kepada mereka yang memiliki kinerja dominan. Penulis sangat menghindari hal ini.

C.  Kesimpulan
Dari hasil pengamatan, penulis menyimpulkan bahwa social loafing terjadi di lingkungan kelas penulis dengan level rendah ke level sedang. Social loafing biasanya tidak disadari dalam suatu kelompok karena mungkin hal ini sudah sering terjadi. Social loafing bisa terjadi karena ada mahasiswa dalam kelompok yang memang dianggap lebih unggul, baik dari segi pengetahuan maupun kinerja. Dengan demikian social loafer merasa tidak perlu melakukan apa-apa. Hal ini menjadi kesempatan para mahasiswa yang memang cenderung melakukan social loafing, untuk melakukannya lagi. Para pelaku social loafing menggambarkan reaksi perasaan yang dirasakannya diantaranya merasa tidak enak dan tidak nyaman, merasa bersalah, dan malu. Dengan demikian, para pelaku social loafing masih memiliki kontrol internal terhadap aturan atau norma yang berlaku. Adapun mahasiswa yang menjadi korban social loafing kebanyakan bersikap biasa saja dan santai serta bisa memaklumi perbuatan tersebut. Sangat jarang yang memperlihatkan perasaan negatifnya.
Berdasarkan hasil pengamatan ini diharapkan semua mahasiswa lebih memerhatikan dan menyadari pentingnya kerjasama kelompok dengan tidak melakukan social loafing yang dapat menurunkan ethical behavior mahasiswa. Perilaku ini diharapkan dapat dikontrol dan dihindari dengan meningkatkan kerjasama dan komitmen dalam kelompok dengan pembagian tugas yang jelas dan adil.
Tulisan ini bersifat subjektif, dengan demikian bersifat tidak ilmiah. Tulisan ini hanya didasarkan pada hasil pengamatan pribadi penulis. Penulis ingin membenarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi Tri Rosita dan Ayu Dwi Nindyati. Kedepannya sangat memungkinkan untuk mengembangkan penelitian dengan topik social loafing, terutama dalam bidang akademik.

Kamis, 03 Januari 2013

PEMBELAJAR MANDIRI
Syurawasti Muhiddin


Kata belajar sudah kita kenal sejak kita mengenyam pendidikan di Taman Kanak-Kanak hingga sekarang ini. Tentu saja kata belajar tersebut dimaknai berbeda oleh setiap manusia berdasarkan level pengetahuannya. Anak-anak misalnya, mereka mengartikan belajar sebagai suatu kegiatan membaca buku atau mencatat materi dari buku. Padahal belajar tidak se-simple itu. Belajar merupakan proses kita menafsirkan berbagai hal di dunia. Mengutip pendapat Dr. Arlina Gunarya, M.Sc, dasar hakikinya belajar adalah upaya mengenali dan mencari tahu, yang merupakan prasarat untuk upaya menjadi orang yang sesuai dengan fitrah. Belajar berlangsung terus- menerus sejak kita lahir di dunia ini, sadar maupun tidak sadar karena belajar merupakan panggilan hidup. Tanpa belajar kita tidak dapat melakukan “proses menjadi”.
Ada tiga jenis belajar, yaitu belajar tentang, belajar, dan belajar menjadi. Belajar tentang bertujuan untuk mengetahui sesuatu sehingga kita memiliki wawasan. Ketika kita mempraktikkan hasil belajar tentang untuk memperoleh skill, maka saat itu disebut “belajar”. Sementara “belajar menjadi” mensaratkan perenungan diri. Menurut Andrias Harefa1, “pengajaran” membawa orang belajar tentang, sedangkan “pelatihan” memandu orang belajar, sementara “pembelajaran” memungkinkan orang belajar menjadi. Dengan demikian ada perbedaan makna antara kata pelajar dengan pembelajar. Menurut saya, pelajar yang diidentikkan dengan siswa, terutama pada tingkat sekolah dasar dan menengah, lebih mengarah pada proses belajar tanpa adanya proses perenungan (belajar tentang). Sedangkan seorang pembelajar, yang dalam hal ini diidentikkan dengan mahasiswa tidak hanya sekedar belajar tentang tetapi juga dapat menafsirkan apa yang diperoleh berdasarkan persepsi dan pengalaman.
Lalu apakah pembelajar mandiri itu? Menurut saya secara sederhana, pembelajar adalah setiap orang yang melakukan proses belajar tentang dan proses belajar dalam rangka “belajar menjadi” apa yang menjadi kehendaknya. Adapun kata mandiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung pada orang lain. Dengan demikian, pembelajar mandiri adalah setiap orang yang melakukan proses “belajar menjadi” atas inisiatif sendiri dengan tidak bergantung pada orang lain. Pembelajar mandiri sadar akan pentingnya belajar untuk menjadi orang yang sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.
Siapakah pembelajar mandiri itu? Pembelajar mandiri bukan hanya mereka yang berstatus sebagai siswa dan mahasiswa. Setiap orang dapat menjadi pembelajar mandiri. Apalagi belajar adalah panggilan hidup. Hanya saja istilah pembelajar mandiri ditekankan kepada mahasiswa, agar mereka dapat menjadi manusia yang memiliki kompetensi dan karakter apabila mereka terjun ke masyarakat nantinya.
Kapan dan dimana pembelajar mandiri melakukan proses “belajar mandirinya” ? Kapan dan dimana saja seseorang bisa menjadi pembelajar mandiri, selama seseorang telah mununjukkan karakter seorang pembelajar mandiri. Proses belajar tidak harus dilakukan di lingkungan institusi pendidikan seperti sekolah dan kampus. Seseorang bisa belajar di lingkungan rumah, keluarga, dan masyarakat. Manusia memang memulai proses belajar di lingkungan keluarga, kemudian belajar dalam sistem seperti sekolah dan lingkungan. Di lingkungan orang banyak, seseorang bisa mendapatkan banyak pembelajaran.
Mengapa pembelajar-pembelajar mandiri sangat dibutuhkan dalam kehidupan ini ? Jawabannya tentu sudah jelas. Pembelajar mandiri akan menjadi manusia-manusia yang unggul dan berkarakter sehingga mereka dapat menebarluaskan  manfaat keberadaannya kepada orang banyak. Apabila karakter kemandirian telah tertanam kuat dalam dirinya, kelak ia bisa membina generasi-generasi berikutnya menjadi pembelajar-pembelajar mandiri sehingga dimasa yang akan datang bangsa ini menjadi bangsa yang tidak bergantung pada bangsa lain.
Lantas bagaimanakah ciri-ciri pembelajar mandiri itu? Tentu saja seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa pembelajar mandiri tidak bergantung pada orang lain dan memiliki inisiatif. Contohnya pada mahasiswa. Dia mengerjakan tugas kuliah sendiri, tidak menyontek kepada teman dan tidak ingin menyulitkan teman. Dia memiliki inisiatif untuk mengkaji sendiri sesuai kemampuannya. Dia memiliki komitmen untuk belajar. Hal ini misalnya ditunjukkan melalui ketekunan dalam  mengikuti kuliah, disiplin membaca, disiplin melakukan diskusi. Tidak hanya terbatas pada apa yang diberikan dosen, tetapi juga berusaha untuk mengkaji ilmu lebih banyak lagi melalui berbagai media. Pembelajar mandiri memiliki keberanian untuk menjalani kehidupannya, senantiasa berpikir positif, serta tidak mudah menyerah apalagi berputus asa. Selain itu, pembelajar mandiri senantiasa mengembangkan kreativitas sesuai dengan potensi yang dimiliki. Kreativitas itu akan berguna bagi kelangsungan hidupnya dan bahkan orang lain di masa depan.
Demikian pemaparan saya tentang pembelajar mandiri. Pembelajar mandiri selalu berusaha memperoleh banyak pembelajaran hidup dalam rangka “menjadi orang” yang dituju sesuai apa yang digariskan oleh Sang Pencipta.