Selasa, 29 Mei 2012

PUISI


Kupu-Kupu Jingga
Kupu-kupu jingga yang kesepian
Terbang sendiri mengikuti arah sang bayu
Terbawa di atas hamparan kekeringan
Seakan membaca kemarau
di atas bumi Lamaddukelleng
yang panas menanti hujan
                        Kupu-kupu jingga yang kesepian
                        Melintasi danau Tempe yang surut
                        Tidak dapat ia melihat langit biru di permukaannya
                        Menyeberang sungai yang keruh
                        Melalui hamparan sawah yang tandus
                        Hinggap pada bunga yang layu
Mungkin ia mendesah panjang
Kemana bumiku yang dahulu
Tanah Bugis yang Makmur
Yang penuh akan kekayaan
Dengan nilai-nilai kepahlawanan Lamaddukelleng
Mungkinkah akan terkikis
Bersamaan dengan nilai-nilai Bugis yang luhur

Kupu-kupu jingga yang kesepian.



“Beautiful Nature”
                                    Syurawasti Muhiddin


Minggu, 13 Mei 2012

Contoh Cerita Pendek II


Kado Lebaran untuk Bunda
               
                Sudah hampir 5 tahun Hadi dan adiknya hidup di kota Surabaya, sejak bencana Tsunami Aceh merenggut nyawa ayahnya. Di sana ia tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil bersama Ibunya yang sering sakit-sakitan. Sekarang Hadi sudah duduk di kelas 2 SMP sedangkan,adiknya Anita  sudah kelas 6 SD, meskipun mereka hidup melarat, ibunya tidak ingin jika kedua anaknya putus sekolah. Ibu Ratih bekerja sebagai buruh cuci di sebuah usaha loundry dan Heri membantu penghasilan keluarga dengan pekerjaan apa saja yang ia mampu, mencuci mobil, mengangkat barang di pasar, menjajankan kue. Tapi ia mempunyai sebuah keahlian. Ia pandai membuat puisi. Hadi pun sudah mampu menghasilkan uang dari hasil karya puisinya.
            Sekarang bulan Ramadhan, satu minggu lagi adalah hari Raya Idul Fitri, berbeda dengan masyarakat di sekitar rumah Hadi yang sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut Hari Kemenangan, di rumah Hari masih tetap seperti biasa.
            “ Maafkan bunda ya. Bunda tidak mampu membelikan kalian baju baru. Jika saja Ayah masih ada, mungkin kita tidak seperti ini.” Kata ibu meneteskan air mata
            “Sudahlah Bunda, kami tidak apa-apa kok. Kami tidak perlu baju baru, kami sudah ikut berlebaran pun kami sudah senang. Iya kan Dik ?”
            Anita hanya mengangguk, karena jauh dalam hatinya ia ingin seperti teman-temannya yang lain yang memiliki pakaina baru. Hadi dan bundanya pun memahami hal itu.
            “ Begini bunda, hari ini bunda agak kurang sehat. Bagaimana kalau saya dan Anita menggantikan ibu bekerja di Loundry. Kami kan libur sekolah. Dari pada saya hanya tinggal di rumah.
            “iya bunda”, Anita menyetujui. Ia juga kasihan melihat ibunya banting tulang untuk mereka berdua.
             Bunda  mengangguk, air matanya masih menetes. Ia sangat bangga dan bersyukur memiliki anak-anak yang berbakti seperti Heri dan Anita.
            Pagi itu sekitar pukul  tujuh, Heri dan Anita menuju ke usaha Loundry dengan mengendarai sepeda yang masih sempat selamat  dari bencana Tsunami dulu. Setibanya di sana, mereka langsung bertemu Bu Sinarti yang merupakan pemilik usaha tersebut. Hari pun menceritakan maksudnya. Sekitar satu jam Hari dan Anita mencuci dan megeringkan pakaian. Sesudah itu, bu Sinarti menyuruhnya agar mengantarkan  pakaian yang sudah kering kepada pemiliknya. Hari dan Anita lalu berangkat menuju ke kompleks perumahan yang tidak begitu jauh dari tempat itu.
            Di dalam perjalanan, mereka mendapat kecelakaan. Sebuah mobil Avanza dari arah yang berlawanan menyenggol sepeda yang mereka tumpangi, akhirnya mereka terjatuh, semua pakain pun kotor. Tidak ada yang menolong mereka. Anita pun panik. Heri mencoba mencari jalan keluar. Bagaimana bisa dia mengembalikan baju kotor, tapi tidak mungkin juga jika ia harus kembali ke tempat Loundry. Bu Sinarti bisa marah, lagi pula mereka sudah diamanatkan.  Hari pun menyuruh adiknya untuk naik kembali ke atas sepeda untuk melanjutkan perjalanan. Tentu dengan pakaian yang masih kotor itu. Anita tidak tahu apa yang akan dilakukan kakaknya. Dia hanya menurut. Beberapa menit kemudian mereka sampai di kompleks perumahan yang dimaksud. Kompleks itu tampak bersih dan mewah, sangat berbeda dengan kawasan rumah Heri.
            Heri dan Anita turun dari sepeda, sesaat setelah mereka menemukan rumah bercat kuning yang penuh tanaman bunga. Pintu gerbang tidak dijaga oleh Satpam. Mungkin Satpam sedang mudik, pikir Heri. Mereka memasuki halaman rumah dan sampai d iteras, kemudian memencet bel dan memberi salam. Sekitar 1 menit, seorang anak perempuan kira-kira seumuran Anita membukakan pintu dan mempersilahkan mereka duduk di teras. Anak itu masuk kembali ke dalam rumah untuk memanggil ibunya. Setelah anak itu kambali bersama ibunya. Heri langsung berdiri. Dia telah menyusun kata-kata yang akan digunakan sabagai permintaan maaf.
            “Apa kalian orang dari rumah Loundry bu Sinar?” tanya Ibu itu dengan lembut
            “Benar, Bu. Tapi.....saya mau minta maaf bu.”
            “ Apa kalian.....Oh masuklah dulu !”
            Hari dan Anita pun masuk ke ruang tamu.
            “Begini  suami saya kehilangan uang 500.000, dan setelah diingat-ingat ternyata uang itu ada di kantong celana hitam miliknya yang kebetulan saya titipkan di tempat ibu Sinarti. Ibu sudah menghubungi bu Sinar, tapi katanya orang yang disuruh telah berangkat. Yaitu kalian. Jadi apa kalian mendapatkannya?
            “Maaf bu......” Her tidak bisa melanjutkan kata-kata yang telah ia susun. Ia begitu panik. Ia tidak menyangka ada uang 500.000 di celana tersebut.
            “Jangan bilang kalau kalian mengambilnya?” tanya Ibu Siska, mulai curiga.
            Kali ini Anita angkat bicara.” Tidak sama sekali Bu. Kami tidak tahu- menahu soal uang itu”
            “Iya Bu, kami ingin minta maaf karena kami tidak mampu menjaga pakaian Ibu agar tetap bersih. Tadi, kami mendapat kecelakaan di jalan. Saya dan adik saya meminta maaf Bu.”
            “ tapi dimana pakaian-pakaian itu?”
            “ Ada di teras Bu, kami akan ambilkan. Kami bisa mencucinya kembali kok bu.”
            Anita keluar mengambil  keranjang yang berisi pakaian, dan memperlihatkan kepada Bu Siska. Bu Siska langsung mengambil celana hitam dan memeriksa kantong balakangnya. Ternyata uang itu masih ada. Masih utuh Rp 500.000,00 namun agak kusut karena ikut tercuci bersama pakaina yang lain.
            “ uang ini untuk  pembayaran suami saya. Jadi sangat penting untuk kami. Mengenai pakaian yang kotor, ibu maafkan, tapi maukah kalian membantu ibu mencucinya kembali?”
            “Tentu Bu, dengan senang hati. Terima kasih banyak Bu. Ibu tidak perlu ikut mencuci, biar saya dan Anita yang mengerjakan”.
            Heri dan Anita pun tinggal di rumah ibu Siska sekitar dua jam. Selama berada di rumah itu, Ibu Siska banyak menanyakan mengenai kehidupan keluarga mereka. Ibu Siska sempat prihatin. Saat itu Ibu Siska telah menduga bahwa mereka dalah keluarga suaminya, yang selama ini di cari-cari. Ia pun sengaja menahan kedua anak itu untuk tinggal hingga suaminya datang. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Suami bu Siska, Pak Heru telah kembali dari kantor. Pak Heru mendapati anak dan istrinya serta Hari dan Anita bercanda di teras belakang.
            “Sepertinya ada tamu?” tanya Pak Heru
            “Iya, Yah. Mereka ini adalah pegawai ibu Sinar”
            Pak Heru mengkode istrinya agar mengikutinya masuk ke dalam rumah. Mereka hendak membicarakan masalah uang itu. Bu Siska pun menjelaskan.Selain membicarakan masalah itu, ada masalah lain yang lebih penting .Beberapa saat kemudian mereka keluar.
Hari dan Anita sempat meras was-was.
            “ Begini, Nak Hari. Om ingin menanyakan beberapa hal. Apakah kamu dan adikmu tinggal bersama ibu di rumah kontrakan kecil sebelah Utara pasar?”
            “Benar Pak, memengnya ada apa Pak?”
            “Mungkin ini cukup mengagetkan.” Pak Heru kemudian mengambil sesuatu di saku celananya. Dia memperlihatkan potongan benda perak, yang tidak asing lagi dimata Heri dan Anita.
            “Kamu kenal benda ini?”
            “ tentu pak, benda ini mirip potongan koin di lemari ibu.”
            “Baiklah. Ibu Ratih adalah adik ipar saya. Ayahmu adalah adik kandung bapak. Sejak bencana tsunami Aceh, saya kehilangan jejak keluarga kalian. Penduduk di sana mengatakan bahwa kalian ada di Jakarta. Tapi saya mencoba mencari kalian. Saya tidak menemukan tanda-tanda keberadaan kalian. Beberapa hari yang lalu saya bercakap-cakap dengan Bu Sinarti, dan tanpa sengaja dia membicarakan soal ibumu, yang merupakan salah satu pegawainya yang sering sakit-sakitan. Dari ibu Sinarlah  Bapak mengetahui keberadaan kalian. Kemarin saya mencoba menemui kalian di rumah kontrakan, tapi kata tetangga, kalian tidak ada.Saya mencari ke rumah Bu Siska bersama Ibu sambil membawa pakaian yang akan dicuci. Tapi kalian juga tidak ada di sana. Kata Bu Sinar, Ibu kamu izin untuk berobat.” Pak Heru menjelaskan panjang lebar. Suasana pun hening. Pikiran Heri dan Anita mengharu biru. Pak  Heru melanjutkan berbicara.
            “ Takdir ingin mempertumakan kita dengan cepat, Nak. Jika uang itu tidak terselip di kantong, mungkin saya akan kehilangan jejak kalian lagi. Karena kata tetangga kamu. Kalian akan pindah ke Malang.”
            “ Benar Pak, kami akan pindah karena kami tidak cukup biaya untuk membayar uang kontrakan.” Kata Heri pelan.
            “Nak Heru dan Nak Anita, Bapak ini adalah paman kalian. Dan Ibu dan adik kecil ini adalah bibi dan sepupu kalian. Kami sudah lama mencarimu. Sekarang pulanglah, perlihatkan koin ini pada ibumu. Ibumu pasti akan memahaminya. Dan uang ini, adalah milik kalian, cepatlah”
            Heri tidak mampu berkata-kata. Tidak mungkin orang yang tampak ramah itu berbohong. Ia pun berterimah kasih sambi mencium tangan Paman dan Bibinya, seraya menarik tangan Anita yang mengikuti segala tingkah lakunya saat itu. Mereka segera naik ke sepeda dan menuju ke rumah kontrakan.
            Sesampainya di rumah. Alangkah terkejutnya Heri dan Anita melihat ibunya sudah tergeletak di samping ranjang dengan nafas yang hampir tak terdengar. Heri langsung keluar mencari pertolongan. Beberapa menit kemudian Bu Sinar datang. Menyusul Paman dan Bibinya. Ibu Ratih segera dilarikan ke Rumah Sakit. Dokter menjelaskan penyakit Ibu Ratih pada Paman dan Bibi, bahwa ternyata bu ratih terkena penyakit Lever yang sudah parah. Beliau hanya mampu bertahan hidup  sampai setelah bulan Ramadhan ini.
            Selama lima jam Bu Ratih tidak sadarkan diri. Malam harinya Beliau baru sadar. Di sampingnya sudah duduk Heri dan Anita serta keluarga Pak Heru.Terjdi peristiwa mengharukan malam itu di dalam kamar. Pak Heru memperlihatkan koin emas itu. Semuanya pun telah jelas.
            Keesokan harinya, Ibu Ratih sudah diizinkan untuk pulang ke rumah. Karena sekarang dia sudah menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah. Ibu Ratih dan anak-anaknya sudah meninggalkan rumah kontrakan menuju rumah saudaranya. Mereka pun tinggal di sana. Selama di rumah Pak Heru, Bu Ratih merasa sangat damai. Hidupnya hanya benar-benar untuk ibadah. Suatu malam sesudah shalat tarawih, dua hari sebelum lebaran.  Seisi rumah berkumpul di ruang tengah. Saat itu Bu Ratih menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan. Ucapan terima kasih kepada keluarga almarhum suaminya itu, amanat untuk anak-anaknya agar dapat berbakti kepada Paman dan Bibinya sepeninggal ia kelak. Heri dan Anitapun memberikan sebuah kado lebaran kepada Bundanya, sepasang mukena, tasbih dan Al-qur’an, untuk berhari raya. Disertai dengan kecupan untuk bundanya.Mereka juga sudah tabah terhadap apa yang akan terjadi  esok atau lusa. “ Bunda, kami akan memegang nasihatmu. “ kata Heri dan Adiknya.
            “Anak-anakku, ini adalah kado lebaran terindah buat Bunda, terima kasih” kata bunda tersenyum.
            Malam takbiran telah tiba. Takbir dan Tahmid menggema di seluruh pelosok daerah. Pertanda hari kemenangan telah tiba. Malam itu pula, Bunda terlelap untuk selamanya di dalam sujudnya, mengenakan mukena pemberian anak-anaknya. Tangan kanannya memegang tasbih. Di samping sajadah ada al qur’an. Wajahnya tampak merona dan bercahaya.
            “Bunda, Allah menyayangimu. Mudah-mudahan  engkau adalah salah satu hamba-Nya yang akan mencium wangi Surga . Semoga  engkau tenang di sisi-Nya. Aku akan merindukanmu, Bunda...”
(April 2010)