Kado Lebaran untuk Bunda
Sudah hampir 5 tahun Hadi dan adiknya hidup
di kota Surabaya, sejak bencana Tsunami Aceh merenggut nyawa ayahnya. Di sana
ia tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil bersama Ibunya yang sering
sakit-sakitan. Sekarang Hadi sudah duduk di kelas 2 SMP sedangkan,adiknya
Anita sudah kelas 6 SD, meskipun mereka
hidup melarat, ibunya tidak ingin jika kedua anaknya putus sekolah. Ibu Ratih
bekerja sebagai buruh cuci di sebuah usaha loundry dan Heri membantu
penghasilan keluarga dengan pekerjaan apa saja yang ia mampu, mencuci mobil,
mengangkat barang di pasar, menjajankan kue. Tapi ia mempunyai sebuah keahlian.
Ia pandai membuat puisi. Hadi pun sudah mampu menghasilkan uang dari hasil
karya puisinya.
Sekarang
bulan Ramadhan, satu minggu lagi adalah hari Raya Idul Fitri, berbeda dengan
masyarakat di sekitar rumah Hadi yang sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk
menyambut Hari Kemenangan, di rumah Hari masih tetap seperti biasa.
“ Maafkan
bunda ya. Bunda tidak mampu membelikan kalian baju baru. Jika saja Ayah masih
ada, mungkin kita tidak seperti ini.” Kata ibu meneteskan air mata
“Sudahlah
Bunda, kami tidak apa-apa kok. Kami tidak perlu baju baru, kami sudah ikut
berlebaran pun kami sudah senang. Iya kan Dik ?”
Anita hanya
mengangguk, karena jauh dalam hatinya ia ingin seperti teman-temannya yang lain
yang memiliki pakaina baru. Hadi dan bundanya pun memahami hal itu.
“ Begini
bunda, hari ini bunda agak kurang sehat. Bagaimana kalau saya dan Anita
menggantikan ibu bekerja di Loundry. Kami kan libur sekolah. Dari pada saya
hanya tinggal di rumah.
“iya bunda”,
Anita menyetujui. Ia juga kasihan melihat ibunya banting tulang untuk mereka
berdua.
Bunda
mengangguk, air matanya masih menetes. Ia sangat bangga dan bersyukur
memiliki anak-anak yang berbakti seperti Heri dan Anita.
Pagi itu
sekitar pukul tujuh, Heri dan Anita
menuju ke usaha Loundry dengan mengendarai sepeda yang masih sempat
selamat dari bencana Tsunami dulu.
Setibanya di sana, mereka langsung bertemu Bu Sinarti yang merupakan pemilik
usaha tersebut. Hari pun menceritakan maksudnya. Sekitar satu jam Hari dan
Anita mencuci dan megeringkan pakaian. Sesudah itu, bu Sinarti menyuruhnya agar
mengantarkan pakaian yang sudah kering
kepada pemiliknya. Hari dan Anita lalu berangkat menuju ke kompleks perumahan
yang tidak begitu jauh dari tempat itu.
Di dalam
perjalanan, mereka mendapat kecelakaan. Sebuah mobil Avanza dari arah yang
berlawanan menyenggol sepeda yang mereka tumpangi, akhirnya mereka terjatuh,
semua pakain pun kotor. Tidak ada yang menolong mereka. Anita pun panik. Heri
mencoba mencari jalan keluar. Bagaimana bisa dia mengembalikan baju kotor, tapi
tidak mungkin juga jika ia harus kembali ke tempat Loundry. Bu Sinarti bisa
marah, lagi pula mereka sudah diamanatkan. Hari pun menyuruh adiknya untuk naik kembali
ke atas sepeda untuk melanjutkan perjalanan. Tentu dengan pakaian yang masih
kotor itu. Anita tidak tahu apa yang akan dilakukan kakaknya. Dia hanya
menurut. Beberapa menit kemudian mereka sampai di kompleks perumahan yang
dimaksud. Kompleks itu tampak bersih dan mewah, sangat berbeda dengan kawasan
rumah Heri.
Heri dan
Anita turun dari sepeda, sesaat setelah mereka menemukan rumah bercat kuning
yang penuh tanaman bunga. Pintu gerbang tidak dijaga oleh Satpam. Mungkin
Satpam sedang mudik, pikir Heri. Mereka memasuki halaman rumah dan sampai d
iteras, kemudian memencet bel dan memberi salam. Sekitar 1 menit, seorang anak
perempuan kira-kira seumuran Anita membukakan pintu dan mempersilahkan mereka
duduk di teras. Anak itu masuk kembali ke dalam rumah untuk memanggil ibunya.
Setelah anak itu kambali bersama ibunya. Heri langsung berdiri. Dia telah
menyusun kata-kata yang akan digunakan sabagai permintaan maaf.
“Apa kalian
orang dari rumah Loundry bu Sinar?” tanya Ibu itu dengan lembut
“Benar, Bu.
Tapi.....saya mau minta maaf bu.”
“ Apa
kalian.....Oh masuklah dulu !”
Hari dan
Anita pun masuk ke ruang tamu.
“Begini suami saya kehilangan uang 500.000, dan
setelah diingat-ingat ternyata uang itu ada di kantong celana hitam miliknya
yang kebetulan saya titipkan di tempat ibu Sinarti. Ibu sudah menghubungi bu
Sinar, tapi katanya orang yang disuruh telah berangkat. Yaitu kalian. Jadi apa
kalian mendapatkannya?
“Maaf
bu......” Her tidak bisa melanjutkan kata-kata yang telah ia susun. Ia begitu
panik. Ia tidak menyangka ada uang 500.000 di celana tersebut.
“Jangan
bilang kalau kalian mengambilnya?” tanya Ibu Siska, mulai curiga.
Kali ini
Anita angkat bicara.” Tidak sama sekali Bu. Kami tidak tahu- menahu soal uang
itu”
“Iya Bu, kami
ingin minta maaf karena kami tidak mampu menjaga pakaian Ibu agar tetap bersih.
Tadi, kami mendapat kecelakaan di jalan. Saya dan adik saya meminta maaf Bu.”
“ tapi dimana
pakaian-pakaian itu?”
“ Ada di
teras Bu, kami akan ambilkan. Kami bisa mencucinya kembali kok bu.”
Anita keluar
mengambil keranjang yang berisi pakaian,
dan memperlihatkan kepada Bu Siska. Bu Siska langsung mengambil celana hitam
dan memeriksa kantong balakangnya. Ternyata uang itu masih ada. Masih utuh Rp
500.000,00 namun agak kusut karena ikut tercuci bersama pakaina yang lain.
“ uang ini
untuk pembayaran suami saya. Jadi sangat
penting untuk kami. Mengenai pakaian yang kotor, ibu maafkan, tapi maukah
kalian membantu ibu mencucinya kembali?”
“Tentu Bu,
dengan senang hati. Terima kasih banyak Bu. Ibu tidak perlu ikut mencuci, biar
saya dan Anita yang mengerjakan”.
Heri dan
Anita pun tinggal di rumah ibu Siska sekitar dua jam. Selama berada di rumah
itu, Ibu Siska banyak menanyakan mengenai kehidupan keluarga mereka. Ibu Siska
sempat prihatin. Saat itu Ibu Siska telah menduga bahwa mereka dalah keluarga
suaminya, yang selama ini di cari-cari. Ia pun sengaja menahan kedua anak itu
untuk tinggal hingga suaminya datang. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang.
Suami bu Siska, Pak Heru telah kembali dari kantor. Pak Heru mendapati anak dan
istrinya serta Hari dan Anita bercanda di teras belakang.
“Sepertinya
ada tamu?” tanya Pak Heru
“Iya, Yah.
Mereka ini adalah pegawai ibu Sinar”
Pak Heru
mengkode istrinya agar mengikutinya masuk ke dalam rumah. Mereka hendak
membicarakan masalah uang itu. Bu Siska pun menjelaskan.Selain membicarakan
masalah itu, ada masalah lain yang lebih penting .Beberapa saat kemudian mereka
keluar.
Hari dan Anita sempat meras was-was.
“ Begini, Nak
Hari. Om ingin menanyakan beberapa hal. Apakah kamu dan adikmu tinggal bersama
ibu di rumah kontrakan kecil sebelah Utara pasar?”
“Benar Pak,
memengnya ada apa Pak?”
“Mungkin ini
cukup mengagetkan.” Pak Heru kemudian mengambil sesuatu di saku celananya. Dia
memperlihatkan potongan benda perak, yang tidak asing lagi dimata Heri dan
Anita.
“Kamu kenal
benda ini?”
“ tentu pak,
benda ini mirip potongan koin di lemari ibu.”
“Baiklah. Ibu
Ratih adalah adik ipar saya. Ayahmu adalah adik kandung bapak. Sejak bencana
tsunami Aceh, saya kehilangan jejak keluarga kalian. Penduduk di sana
mengatakan bahwa kalian ada di Jakarta. Tapi saya mencoba mencari kalian. Saya
tidak menemukan tanda-tanda keberadaan kalian. Beberapa hari yang lalu saya
bercakap-cakap dengan Bu Sinarti, dan tanpa sengaja dia membicarakan soal
ibumu, yang merupakan salah satu pegawainya yang sering sakit-sakitan. Dari ibu
Sinarlah Bapak mengetahui keberadaan
kalian. Kemarin saya mencoba menemui kalian di rumah kontrakan, tapi kata
tetangga, kalian tidak ada.Saya mencari ke rumah Bu Siska bersama Ibu sambil
membawa pakaian yang akan dicuci. Tapi kalian juga tidak ada di sana. Kata Bu
Sinar, Ibu kamu izin untuk berobat.” Pak Heru menjelaskan panjang lebar.
Suasana pun hening. Pikiran Heri dan Anita mengharu biru. Pak Heru melanjutkan berbicara.
“ Takdir
ingin mempertumakan kita dengan cepat, Nak. Jika uang itu tidak terselip di
kantong, mungkin saya akan kehilangan jejak kalian lagi. Karena kata tetangga
kamu. Kalian akan pindah ke Malang.”
“ Benar Pak,
kami akan pindah karena kami tidak cukup biaya untuk membayar uang kontrakan.”
Kata Heri pelan.
“Nak Heru dan
Nak Anita, Bapak ini adalah paman kalian. Dan Ibu dan adik kecil ini adalah
bibi dan sepupu kalian. Kami sudah lama mencarimu. Sekarang pulanglah,
perlihatkan koin ini pada ibumu. Ibumu pasti akan memahaminya. Dan uang ini,
adalah milik kalian, cepatlah”
Heri tidak
mampu berkata-kata. Tidak mungkin orang yang tampak ramah itu berbohong. Ia pun
berterimah kasih sambi mencium tangan Paman dan Bibinya, seraya menarik tangan
Anita yang mengikuti segala tingkah lakunya saat itu. Mereka segera naik ke
sepeda dan menuju ke rumah kontrakan.
Sesampainya
di rumah. Alangkah terkejutnya Heri dan Anita melihat ibunya sudah tergeletak
di samping ranjang dengan nafas yang hampir tak terdengar. Heri langsung keluar
mencari pertolongan. Beberapa menit kemudian Bu Sinar datang. Menyusul Paman
dan Bibinya. Ibu Ratih segera dilarikan ke Rumah Sakit. Dokter menjelaskan
penyakit Ibu Ratih pada Paman dan Bibi, bahwa ternyata bu ratih terkena
penyakit Lever yang sudah parah. Beliau hanya mampu bertahan hidup sampai setelah bulan Ramadhan ini.
Selama lima
jam Bu Ratih tidak sadarkan diri. Malam harinya Beliau baru sadar. Di
sampingnya sudah duduk Heri dan Anita serta keluarga Pak Heru.Terjdi peristiwa
mengharukan malam itu di dalam kamar. Pak Heru memperlihatkan koin emas itu.
Semuanya pun telah jelas.
Keesokan
harinya, Ibu Ratih sudah diizinkan untuk pulang ke rumah. Karena sekarang dia
sudah menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah. Ibu Ratih dan anak-anaknya
sudah meninggalkan rumah kontrakan menuju rumah saudaranya. Mereka pun tinggal
di sana. Selama di rumah Pak Heru, Bu Ratih merasa sangat damai. Hidupnya hanya
benar-benar untuk ibadah. Suatu malam sesudah shalat tarawih, dua hari sebelum
lebaran. Seisi rumah berkumpul di ruang
tengah. Saat itu Bu Ratih menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan. Ucapan
terima kasih kepada keluarga almarhum suaminya itu, amanat untuk anak-anaknya
agar dapat berbakti kepada Paman dan Bibinya sepeninggal ia kelak. Heri dan
Anitapun memberikan sebuah kado lebaran kepada Bundanya, sepasang mukena,
tasbih dan Al-qur’an, untuk berhari raya. Disertai dengan kecupan untuk
bundanya.Mereka juga sudah tabah terhadap apa yang akan terjadi esok atau lusa. “ Bunda, kami akan memegang
nasihatmu. “ kata Heri dan Adiknya.
“Anak-anakku,
ini adalah kado lebaran terindah buat Bunda, terima kasih” kata bunda
tersenyum.
Malam
takbiran telah tiba. Takbir dan Tahmid menggema di seluruh pelosok daerah.
Pertanda hari kemenangan telah tiba. Malam itu pula, Bunda terlelap untuk
selamanya di dalam sujudnya, mengenakan mukena pemberian anak-anaknya. Tangan
kanannya memegang tasbih. Di samping sajadah ada al qur’an. Wajahnya tampak
merona dan bercahaya.
“Bunda, Allah
menyayangimu. Mudah-mudahan engkau
adalah salah satu hamba-Nya yang akan mencium wangi Surga . Semoga engkau tenang di sisi-Nya. Aku akan
merindukanmu, Bunda...”
(April 2010)